KONSEP KETUHANAN BUDDHA DHARMA
RESUME
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad
: 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani
: 11130321000
A. Konsep Ketuhanan
Tak dapat dikatakan
bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat didalam kitab pitaka
terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang dipertuhankan. Tujuan hidup
bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan. Melainkan unuk masuk kedalam
nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa kemauan, tanpa perasaan, tanpa
keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana orang tidak lagi terbakar oleh
nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada
ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme adalah suatu agama.
Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia untuk mencari
kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab dan akibat[1][1]. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru.
Memang harus diakui bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada.
Yang ada adalah nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka.
Tak ada gagasan tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu.
Tak ada gagasan tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah maupun
yang moril. Tiada gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun
demikian, dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan
manusia akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama
tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa berbeda-beda. Sekalipun
tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula hal-hal yang sama, yaitu
dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan dialami sebagai misteri,
rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan
ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau
oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena dengan sendirinya
nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak terbatas. Dalam agama buddha
tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi (personifikasi), tidak bersifat
antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang berasal dari wujud manusia) dan
antropopatisme (pengenaan pengertian yang berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak
mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan
adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu
mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya swajarnya juga
meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
B. Adi Buddha
Dalam agama buddha terdapat banyak buddha,
tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan
panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah
adi buddha” [4]. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara,
tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala,
hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial,
yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada
banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam
berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang
banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha
mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan yang
maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam,
sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam
kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi
sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri
kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi
chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman
pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha
esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan
atas UU no. 8 tahun 1974 tentang
pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji
pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka
yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang
adi buddha”
C. Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan secara
keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya
harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri
dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan
demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila
sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan
sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para
dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak
sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini
mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang
berdoa [6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha
maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha
bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga
kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia
lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai
dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari
kata puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai
melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha
melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup
yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan
namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang
buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini
dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak
jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang
bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu
menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak
dihormati dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca
Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh
saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan
tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan
memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu
bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat
baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat
buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian
secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut
membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan
pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi
uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin
banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang,
maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola
pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah
ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta
atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta
kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri,
berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering
membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta
kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari
sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan
karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta
kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu
melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan
menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak
sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya.
Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa
kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian
puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi,
umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa,
adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya
ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah
yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki
tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki,
secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu
dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat
mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan
seperti yang diharapkan.
Komentar
Posting Komentar