CATUR MARGA, PANCA YADNYA DAN AJARAN BUDDHA TENTANG BHAVANA




CATUR MARGA, PANCA YADNYA  DAN AJARAN BUDDHA TENTANG BHAVANA
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Usup mardani: 1113032100072
A. Pengertian Catur Marga Yoga
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur Marga juga sering  disebut dengan Catur Marga Yoga. Sesungguhnya kata yoga, dapat juga berarti masuk atau menyatukan diri, sehingga Catur Marga Yoga dapat pula diartikan empat jalan untuk menyatukan diri dengan Tuhan untuk mencapai moksa. Keempat jalan ini memiliki nilai yang sama namun menjadi sangat utama apabila didasari dengan kesungguhan hati dan Sradha yang mantap. Keempat jalan itu adalah Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat akarma dan wikarma perbuatan yang keliru.
 Karma memiliki dua makna yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan. Kedua, tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau pratima berupa arca ataumantra. Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana (ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu). Keempat, Raja Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun tujuannya adalah Sebagai jalan atau sarana untuk mempersatukan manusia dan tuhan yang maha esa.[1]
B. Macam –macam Catur Marga Yoga
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai kesempurnaan, yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur marga yoga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti marga yoga, jnana marga yoga, karma marga yoga dan raja marga yoga.
1.      Bhakti Marga Yoga       
Kata Bhakti berarti menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepadaNya, perhatian yang sungguh-sungguh untuk memujanya. Kata Marga berarti jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga Yoga adalah jalan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui cinta kasih yang luhur dan mulia. Untuk memupuk sradha harus adanya rasa bhakti dan kasih sayang terhadap Tuhan, dalam ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu
1)      Aphara Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan pengetahuan kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak berlebihan
2)      Parabhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan rasa tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penyerahan diri sepenuhnya kepadaNya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau melakukan aktivitas, tetapi ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula.
Dalam pustaka Hindu, diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang disebutkan “Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1)      Santabhava adalah sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan bapaknya.
2)      Sakyabhava adalah bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, manifestasiNya, Istadewata sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dan pertolongan pada saat yang diperlukan
3)      Dasyabhava adalah bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba kepada majikannya.
4)      Vatsyabhava adalah sikap seorang penyembah atau memandan Tuhan seperti anaknya sendiri.
5)      Kantabhava adalah seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri terhadap suami tercinta.
6)      Madhuryabhava adalah bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang bhakta kepada Tuhan.
Gejala-gejala dari adanya Bhakti Marga adalah:
a)      Kerinduan untuk bertemu kepada yang dipujanya
b)      Keinginan untuk berkorban
c)      Keingingan untuk menggambarkan
d)     Melenyapkan rasa takut
e)      Melahirkan rasa seni
f)       Melahirkan rasa terharu
g)      Melahirkan mitologi
Seseorang yang menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu merasa puas dalam segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya yang tenang dan sabar membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang Bhakta akan selalu mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan Upeksa. Selain itu, seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari keangkuhan (ahamkara) dan  tidak ada ikatan sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan pikiran kepada Hyang Widhi.
2.      Karma Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih. Dalam Bhagawadgita tentang Karma Yoga dinyatakan sebagai berikut: Tasmad asaktah satatam karyam karma samcara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah. (Bhagawadgita III. 19)
Artinya: ’’Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama’’.
Pada hakikatnya seorang karma yoga selalu mendambakan pedoman rame inggawe sepi ing pamrih. dengan menyerahkan keinginannya akan pahala yang berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan dia akan memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat tempat hidupnya pun kana menjadi bahagia, sejahtera, ia akan mencapai kesucian batin dan kebijaksanaan.


3.      Jnana Marga Yoga
Jnana artinya, kebijakan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian. Tiada ikatan yang lebih kuat daripada Maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh daripada Yoga untuk membasmi ikatan-ikatan Maya itu. Untuk melepaskan ikatan-ikatan kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan memaksanya kepada kebiasaan-kebiasaan suci. Akan tetapi, bila kita ingin member suatu bentuk kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya. Sebaiknya bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya. Jadi proses pertumbuhan merupakan hal yang mutlak, sebagai jalan tumbuhnya pikiran, perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma, dan sikap batin (wikrama) sangat diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan kualitas sebenarnya dari pikiran kita.
Ada tiga hal yang penting dalam hidup ini yaitu kebulatan pikiran, pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang maupun pandangan yang kokoh, tentram, dan damai. Ketiga hal tersebut di atas merupakan Dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan Abhyasa,yaitu latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Kekuatan pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa saja, dan pikiran harus kita pusatkan kepada-Nya. Dalam urusan-urusan keduniawian pemusatan ini mutlak diperlukan. Hal ini bukan hanya diperlukan untuk sukses di dunia, tetapi juga dibutuhkan untuk kemajuan spiritual atau batin. Usaha untuk menjernihkan kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohani. Apapun yang kita laksanakan, berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan pemikiran kita kepada-Nya. Inilah kelebihan Jnana Marga (jalan ilmu pengetahuan) dibandingkan dengan marga-marga lainnya.
Dengan dikuasainya ilmu pengetahuan, manusia dapat bekerja lebih efektif dan efisien, dibandingkan dengan mereka yang dungu dan sedikit pengetahuannya, baik itu masalah pengetahuan duniawi ataupun pengetahuan tentang agama, karena ilmu pengetahuan itulah yangakan menuntun manusia menuju ke jalan yang benar untuk mencapai tujuan akhir. Maka dari itu, kejarlah ilmu pengetahuan terlebih dahulu sebanyak dan seluas mungkin.

4.      Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai moksa, raja marga yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa, brata, yoga dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang lebih positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan semadhi adalah latihan untuk menyatukan atma dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja Yogin yaitu melakukan Tapa, Brata, Yoga, dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
a)      Pengertian Panca Yadnya
Yadnya adalah korban suci yang dilakukan secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Beryadnya merupakan kewajiban bagi umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut ajaran agama Hindu Yadnya ada lima, yang  biasa disebut Panca Yadnya artinya lima korban suci dengan tulus ikhlas.[2]
Adapun tujuannya, tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari sloka dibawah ini:
“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema prasavish dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya: Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa) menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu.[3]

b)     Macam-macam Yadnya.
1.      Dewa Yadnya.
Ialah suatu korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.      Pitra Yadnya.
lalah suatu korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.[4]



3.      Manusia Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.                   Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
a.       Upacara selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
b.      Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
c.       Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari).
d.      Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/ Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.
4.      Resi Yadnya.
Adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
 Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
a.       Membangun tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
b.      Menghaturkan/ memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
c.       Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
d.      Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.[5]

5.      Bhuta Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.[6]
A.    Pengertian Bhavana
Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.[7]

1.      Faedah bhavana
Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari praktek meditasi itu adalah :
a.       Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan
b.       Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
c.        Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut
d.      Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu
e.        Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
f.       Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
g.      Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya.
h.      Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama
i.        Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.
j.        Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
k.      Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih mampu daripadanya.
l.        Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya.
m.    Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya
n.       Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya.
o.      Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu.
p.      Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
q.       Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya.
r.        Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya.
s.       Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi.
t.        Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalan-persoalan yang remeh.
    Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana.
Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi. Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri.

2.      Cara melaksanakan bhavana
Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai.
Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.
Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring.
Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dicapai sukses dalam bermeditasi.
Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.[8]
C.  Macam-macam bhavana
1)      SAMATHA BHAVANA
a.       Aharepatikulasanna
Merupakan perenungan terhadap makanan yang menjijikkan
b.      Catudhatuvavatthana
Yaitu analisa terhadap empat unsur yang ada di dalam badan jasmani (patavidhatu, apodhatu, tejodhatu, vayodhatu)
c.       Empat apamañña
Keadaan yang tidak terbatas: Metta, Karuna, Mudita, Upekkha
d.      Empat arupa
Perenungan tanpa bentuk atau materi
a)      Akasanancayatana, obyek ruangan tanpa batas.
b)      Viññanancayatana, obyek kesadaran tanpa batas
c)      Akincaññayatana, obek kekosongan
d)     Nevasaññanasannayatana, obyek pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
e.       Sepuluh kasina
Perwujudan benda, yaitu :
a)      apathavi kasina (wujud tanah)
b)      Apo Kasina (wujud air)
c)      Tejo kasina (wujud api)
d)      Vayo kasina (wujud udara)
e)       Nila kasina (wujud warna biru)
f)       Pita kasina (wujud warna kuning)
g)       Lohita kasina (wujud warna merah)
h)      Odata kasina (wujud warna putih)
i)        Aloka kasina (wujud cahaya)
j)        Akasa kasina (wujud ruang terbatas)
f.       Sepuluh asubha
Perwujudan mayat yang menjijikkan
g.      Uddhumataka
mayat yang melembung/membengkak
h.      Vinilaka
mayat dengan warna kebiru-biruan
i.        Vipubbaka
mayat bernanah
j.        Vicchiddaka
mayat terbelah di tengah
k.      Vikkhayitaka
mayat dimakan binatang
l.        Vikkhittaka
mayat hancur lebur
m.    Hatavikkhittaka
mayat yang busuk & hancur
n.      Lohitaka
mayat yang berdarah
o.      Puluvaka
mayat yang dikerumuni belatung
p.      Attikha
perwujudan tengkorak
q.      Sepuluh Anussati
a)      Buddhanussati, perenungan tehadap sifat-sifat Sang Buddha bahwa beliau telah terbebas dari lobha, dosa dan moha.
b)       Dhammanussati, perenungan terhadap Sang Dhamma yang tidak terkena lobha, dosa dan moha
c)      Sanghanussati, perenungan terhadap sangha yang terbebas dari Lobha, dosa dan moha.
d)     Silanussati, perenungan terhadap sila yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
e)      Caganussati, perenungan terhadap kebajikan yang telah dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
f)       Devatanussati, perenungan terhadap para dewa
g)      Marananussati, perenungan terhadap kematian yang akan dialami semua mahluk.
h)      Kayagatassati, perenungan terhadap kekotoran  badan jasmani.
i)        Anapanassati, perenungan terhadap masuk keluarnya napas.
j)        Upasamanussati, perenungan terhadap keadaan nibbanā.[9]
2)      VISSANA BHAVANA.
Vipasasana berarti melihat benda-benda dalam keadaan sebenarnya. Kontenplasi tentang tiga hal yang karakteristik:
a)      anicca berarti tidak adanya kekakalan kelanggengan
b)      Dukkha berarti penderitaan
c)      Anatta berarti tidak adanya jiwa
Vipassana membawa kita kepada tingkatan arahat. dengan konsentrasi kita dapat membangkitkan enam tingkatan kegaiban

.
a.       Mata dewa yang dapat menjauh
b.       Pendengaran dewa yang dapat mendengar sesuatu yang lain orang tidak dapat mendengarnya.
c.       dapat melihat dan mengetahui kehidupan-kehidupan yang lampau.
d.      Dapat membaca pikiran-pikiran orang lain
e.       Mempunyai kekuatan-kekuatan psichis (gaib)
f.        Dapat mempunyai pengetahuan yang luar biasa dan bijaksana mengenai penghancuran dan nafsu-nafsu dan tercapainya tingkat arahat.
Untuk melaksanakan pelajaran dari sang Buddha, bagi tiap-tiap orang adalah yang terpenting sekali memelihara dan mengembangkan dalam dirinya tentang kebijaksanaan dari Sila, Samadhi, dan Panna. Orang seharusnya tidak ragu-ragu lagi untuk memiliki tiga macam kebijaksaan itu.
Sila adalah suatu pengekangan diri, atau tali kendali diri, untuk orang-orang biasa adalah Panca-Sila sebagai ukuran yang minimum. untuk para Bhikksu ialah peraturan dari Patimokha-Sil. orang-orang yang telah taat menjalankan Sila itu akan dilahirkan kembali dalam kehidupan berbahagia sebagai manusia atau sebagai dewa. Tetapi bentuk yang biasa dari Lokiya-Sila itu, tidak dapat menjamin seseorang terhadap kemunduran atau terhadap jatuh kembali dalam keadaan yang lebih rendah, atau kedalam kehidupan yang lebih buruk.
Jika seseorang telah dapat menjalankan Sila ini dengan sempurna, maka ia akan terjamin, dan tidak dapat jatuh lagi kedalam keadaan yang lebih rendah, dan ia akan selalu terpimpin kedalam kehidupan yang lebih berbahagia, lahir sebagai manusia atau sebagai dewa. Maka itu tiap-tiap orang harus menetapkan suatu tujuan didalam kewajibannya untuk menjalankan Lokuttara-Sila itu.
Tidaklah cukup kalau mengerjakan Sila saja: adalah perlu juga menjalankan Samadhi. Samadhi adalah pemusatan dan ketenangan dari pikiran. Pikiran yang biasa atau pikiran yang tidak terkendalikan, adalah keadaan berkelana ketempat-tempat lain; tidak dapat dikontrol terus, ia selalu mengikuti bermacam-macam cita-cita, bentuk-bentuk pikiran, bayangan-bayangan dan lain-lainya. Untuk mencegah berkelananya pikiran itu, maka pikiran tersebut harus ditujukan kepada objek Samadhi yang telah ditentukan.

Samadhi terdapat dua macam, yaitu:
1)      Lokiya Samadhi
2)      Lokuttara Samadhi
kedua-duanya ini adalah praktek Samatha Bhavana, yaitu: Anapana, Mettana, Kasina, dan lain-lainnya, yang dapat membawa kita kedalam perkembangan dari keadaan Lokiya Yhana, seperti empat Rupa Yhana dan empat Arupa yhana, yang menyebabkan orang dapat dilahirkan dialam Brahma.
Kehidupan dalam Brahman itu berlangsung sangat lama, ada yang lamanya satu kalpa, dua, empat, delapan dan seterusnya sampai batasnya delapan puluh empat ribu maha kalpa, menurut segala kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Tetapi kehidupan seorang Brahma itu juga menemui kematian, dan akan lahir kembali sebagai manusia atau dewa. Kalauia menjalankan kehidupan yang becik sepanjang masa, maka ia akan mendapat kebahagiaan didalam kehidupan yang lebih tinggi. tetapi, jika ia belum bebas dari kekotoran (kilesa), maka sewaktu-waktu ia dapat terjerumus dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang cemar (rendah).
Lokiya Samadhi masih belum sempurna. Karena itu, sebaiknya kita menjalankan Lokuttara Samadhi, yang tidak lain dari Mangga Samadhi dan Phala Sanadhu, Untuk dapat menjalankan Samadhi ini penting sekali kita harus memelihara Panna, yaitu Kebijaksanaan.
maka terdapatlah dua macam Panna, yaitu: Panna dan Lokuttara Panna. Pada jaman sekarang, pengetahuan-pengetahuan dari kesusteraan, kesenian, ilmu pengetahuan atau kemajuan keduniaan seperti sekarang, biasanya doanggap sebagai Panna. Tetapi bentuk Panna ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Bhavana (perkembangan hidup). Pun tidak dapat dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang sejati, sebab semua alat senjata yang diapakai untuk menghancurkan manusia, adalah berdasarkan inspirasi dari ilu pengetahuan duniawi ini.
Arti dari Lokiya Panna sebenarnya, kalu ditinjau dari segala sudut lainnya, hanyalah kebahagian, dan tidak ada penderitaan dalam bentuk apapun juga. Ilmu pengetahuan didalam organisasi yang baik dan bebas, yang dijalankan dengan tidak menimbulkan penderitaan, yaitu belajar untuk mencapai pengetahuan dari kebenaran atau menyelidiki naskah-naskah, dan mempelajari tiga tingkatan pengetahuan didalam Vipassana Bhavana, yaitu:
a.       Satu-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas belajar.
b.      Cinta-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas berfikirn dan
c.        Bhavana-maya-panna, ialah pengetahuan yang berdasarkan atas perkembangan batin adalah Lokiya Panna. Pahala dari memiliki Lokiyana Panna, ialah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan didalam kehidupan yang lebih tinggi, tetapi tidak dapat mencegah resiko-resiko dalam kelahiran kembali dineraka atau dialam kehidupan yang lebih rendah dan sengsara.[10]
3). METTA BHAVANA
Metta atau cinta kasih merupakan sifat bajik yang tidak hanya dapat membawa kebahagiaan bagi seseorang yang memancarkan sifat cinta kasih, tetapi sifat cinta kasih  juga akan terpancar untuk semua makhluk dimanapun mereka berada. Karena kekuatan metta akan memancar kesegala arah dan tak terbatas pada makhluk-makhluk tertentu, melainkan pada semua makhluk hidup yang ada disegenap alam kehidupan. Sedangkan bhavana dalam hal ini berari mengembangkan. Dengan demikian meditasi Metta Bhavana merupakan mediasi yang ditujukan untuk menggembangan sifat-sifat bajik dalam diri seseorang kepada semua makhluk melalui perenungan “semoga semua makhluk hidup berbahagia, penuh kedamaian,  bebas dari kebencian, kesukaran serta bebas penderitaan ”.
Dengan mengembangan sifat-sifat bajik yang ada dalam diri meditator melalui praktik meditasi metta bhavana, dalam diri mereka akan diliputi oleh kebahagiaan serta kedamaian. Kekuatan cinta kasih akan terpancar keluar tubuh melalui perbuatan-perbuatan mereka yang penuh perhatian, kehati-hatian serta tidak tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan. Sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan penuh perenungan guna mengurangi efek buruk yang dapat merugikan setiap makhluk hidup .
Dalam buku panduan meditasi metta bhavana yang dikarang oleh Sayadow U Janaka sangat membantu sebagai pedoman untuk melaksanakan meditasi metta bhavana. Tetapi kurang menekanan cara pelaksanaan meditasi yang digunakan sehingga dikawatirkan akan menimbulkan kesalah pahaman bagi pemula.[11]

Daftar Pustaka
Ali, Mukti,  Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988).
Diputrha, Okta, Meditasi I, ( Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Diputra, Okta, Meditasi II, (Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Disbintald, Binroh, Ajaran Pokok Hindu Dharma, (Jakarta: Dinas Percetakan Raya, 2004)
Mukti, Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma, (Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003)
Rai, Tjok Partadjaja dan Asli, Luh, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja: UNDIKSHA, 2009).
Upacara kelahiran, Perkawinan dan  kematian dalam agama Hindu
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
A.    Upacara bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang berguna untuk dalam masyarakat nanti.
a.       Tata cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam kandungan  selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
b.      Kelahiran bayi 
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan ketika  sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada disekitarnya. 
c.       Tata cara upacara Jatakarma                     
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam sebuah kulit  ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung menghadap arah kaki tempat tidur si bayi 
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di telinga bayi itu  sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan kesehatan.
Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi :”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur panjang…..”dan seterusnya.
Kekuatan  juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
d.      Perbedaan-perbedaan 
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari. 
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan  sebuah tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih dan nasi kuning  yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk masalah penting dalam penanganannya.
e.       Upacara setelah kelahiran bayi  
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak  yang dilaksanakan ketika bayi berumur  12 hari.Tujuan dari upacara ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan badan halus bayi itu dari kotoran  yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
f.       Tata cara upacara  Bajong Colong 
 lilin dinyalakan dan potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah disiapkan namanya. 
g.      Upacara kambuhan 
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42 hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci. 
h.      Upacara Tigang Sasih 
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur  tiga bulan,di India upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
i.        Tata cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi tersebut, Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika. Dari tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur  tanah liat,lalu sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
j.        Upacara weton 
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.
B.     Perkawinan dalam agama Hindu
1)      Pengertian perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau menitis kembali ke dunia.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Batiniah,yaitu:
1)      pernikahan yang berdasarkan cinta sama cinta
2)      mempelai harus agama yang sama
3)      lahiriah
4)      faktor usia
5)      bibit,bebet,bobot
6)      tidak terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk perkawinan yang diungkapkandalam Pustaka Manawa  Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana, melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
1.      Pedewasaan (mencari hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau  seorang yang sudah biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
2.      Penjemputan calon pengantin wanita
Pada saat penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin wanita serta calon pengantinnya.
3.      Ngetok lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon pengantin wanita.[7]
4.      Cara meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
5.      Upacara perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang timbul),agar  kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala hita  atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
Upacara pekala-kalaan
Ø  Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem  orangtua berdasarkan cinta sama cinta namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem perkawinan ini tetap  dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ø  Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama cinta.
Ø  Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
Ø  Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
Pelaksanaan upacara mekala-kalan
Upacara mejaya-jaya
Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
Ø  Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial, yaitu bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Ø  Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta cara membadik,jika membadik  calon pengantin pria yang meminag calon pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh keluarga pengantin wanita.
Ø  Bentuk-bentuk perkawinan 
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki beberapa bentuk perkawinan  menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:
*      Brahma Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih dahulu dihias.
*      Daiwa Wiwaha
Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.
*      Arsa Wiwaha
Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan dharma.
*      Prajapati Wiwaha
Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut :”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu  pengantin wanita  memberikan penghormatan kepada calon suaminya.
*      Asura Wiwaha
Jika pengantin pria menerima  seorang perempuan berdasarkan cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.
*      Gandarwa Wiwaha
Pertemuan   antara laki-laki dan wanita dan timbul nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan
*      Raksasa Wiwaha
Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah gadis tersebut
*      Paisaca Wiwaha
jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan Demikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra 39,menyebutkan sebagai berikut :
BRAHMADISU WIWAHESU
            CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
            JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan  berturut-turut di mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.
 DAFTAR PUSTAKA

Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra, 2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998
C.     Upacara Kematian dalam Agama Hindu
Ø  Ngaben
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar- yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian mentradisi  dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara ngaben yang tergolong  besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.
*      Pengertian
Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara (Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal” dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh) yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah, proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama, sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang ( hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban untuk para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci), seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;
*      Pitra Yadnya
Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan  Yadnya “korban suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang tergolong Pitra Yadnya itu
-          Pemeliharaan ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan serta memuaskan batinnya,  yang dapat ditempuh dengan berbagai macam cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu untuk segala tindakan yang akan diambil.
-          Penyelenggaraan upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
-          Membersihkan sawanya (mresihin)
-          Mendem atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
-          Ngaben/atiwa-tiwa
-          Mroras/ mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa “SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya, melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.
*      Pranawa
Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci sebagai symbol sawa.
*      Swasta
Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya tidak ada (tasn kneng hinulatan)
*      Sawa prateka
Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan upacara penguburan
*      Sawa wedhana
Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan upacara penguburan (ngurug)
*      Asti wedhana
Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti simbolik upakara
1.      Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara, tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2.      Sarana upakara
-          Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk mependhem.
-          Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben, dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas mependhem”.
-          Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
-          Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
-          Bale pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan lainnya.
-          Tatukon pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
-          Ganjaran serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
-          Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit tubuhnya.
-          Karab sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya sebagai kerudung.
-          Angkep rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
-          Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
-          Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari penjalin atau bambu.
-          Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan sawa) yang masuk kedalam tanah.
-          Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka, tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
-          Tumpang salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
-          Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
-          Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
-          Sawa karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
-          Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
-          Adegan (pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
-          Angenan
Symbol jantung manusia
-          Sok bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
-          Lis pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan isinya diletakkan pada kaki sawa.
-          Kesi-kesi / jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong, kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
-          Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar sebagai symbol perginya atma
-          Tah mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian atma.
-          Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk mengiringi kepergian atma
-          Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
-          Sanggah cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam upakara bebantenan
-          Kaki patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama bang
-          Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
-          Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan
-          Pemanjangan
-          Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
-          Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
-          Bale gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai lantainya
Ø  Upacara
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan, narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Ø  Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam pembagiannya;
Ø  Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Ø  Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Ø  Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan manusa madya).
*      Ngaben sarat relevansinya masa kini
Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya. Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang pretisantana sebagai wujud bhaktinya.
*      Kondisi umat hindu
Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari. Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif (ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).

Masa sekarang
Telah merasuknya  masa transisi pada industrialism, maka sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat, dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira (budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang menjadi tujuan utama umat hindu.
Daftar Pustaka
Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya: Paramita. 2002
Kaler , I Gusti Ketut,  Ngaben.  Yayasan Dharma Naradha 1993
Ali , I Nyoman Gustav,  Menggugah Bali .



[1] Drs. I nyoman Singgin Wikarman “Ngaben” Paramita Surabaya 2002
[2] Ibid hal 2
[3] I Gusti Ketut Kaler “ Ngaben” Yayasan Dharma Naradha 1993
[4] I Nyoman Gustav Ali “ Menggugah Bali “
Upacara kelahiran, Perkawinan dan  kematian dalam agama Budha
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata (Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang diberikan. 
Lahir Setelah kelahiran anak, orang tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan, sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah, praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu, misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan, dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari teks-teks suci.
               Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
                Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam. 
Menurut "Upacara Ritual Buddhis dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru, ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan bayi-ritual.
B.     Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat 4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a. Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi), maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan, bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA PERKAWINAN
I. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha (misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
  1. Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
  2. Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
  3. Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
  4. Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
  5. Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan upacara :
  1. Altar dimana terdapat Buddharupang.
  2. Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
  3. Tempat dupa
  4. Dupa wangi 9 batang
  5. Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
  6. Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
  7. Cincin kawin
  8. Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
  9. Pita kuning sepanjang 100 cm
  10. Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
  11. Surat ikrar perkawinan
  12. Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA PERKAWINAN
  1. Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
  2. Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
  3. Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
  4. Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
  5. Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
  6. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
  7. Pernyataan ikrar perkawinan**)
  8. Pemasangan cincin kawin.
  9. Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
  10. Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
  11. Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
  12. Wejangan oleh pandita.
  13. Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
  14. Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO BHAGAVA
[A-ra-hang Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM ABHIVADEMI
[Bud-dhang Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA DHAMMO
[Swaak-khaa-to Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan Sangha)
**)
Sebelum menyatakan ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali) (Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh Gubernur setempat.
Apabila upacara perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan Sipil untuk dicatatkan.

UPACARA KEMTIAN DLAM AGAMA BUDHA
1.      Upacara
Upacara adalah rangkain tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang mengedepankan berbagai tanda atau symbol –simbol kebesaran dan menggunakan cara-cara yang ekspresif dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau peristiwa yang penting. Kita mengenal bermacam-macam Upacara, seperti upacara kenegaraan termasuk upacara militer dan upacara bendera,upacara adat dan agama.[1]
Upacara dan ritual merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna menarik masyarakat.[2]

2.      Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Taj ada yang kubawa serta,
Harta, kemewahan bukan lagi milikku,
Kedudukan, nama dan kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi perjalananku ?
Lenyap sudah tali ikatan
Teman, sahabat, keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan ……
Kini ku teringat,
48 janji besar Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga sukhavati,
Kepada-Nya aku berlindung,
Sepenuh hati ku berseru :
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[3]
Agama Buddha mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal lahir yang baru.
Bagi mereka yang sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan; minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan kemantapannya  di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut agama buddhapun,Hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).
Karma juga membagi para makhluk menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203). Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik  si anak dengan karma orang tuanya. Adanya karma individual dan adanya karma kolektif.
Sedangakan gagasan penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.[4]

A.    Proses penghancuran Badan jasmani dan Rohani.
Terurainya 4 Element besar dimulai dari unsur tanah, unsure tanah akan turun ke unsure air, yang menyebabkan badan terasa sesak, seakan-akan menanggung beban yang sangat bera, seluruh otot terasa kaku dank ram, pada saat ini dianjurkan agar sanak sodara jangan menyentuh atau memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya. Setelah itu unsure air akan turun ke unsure api, yang menyebabkan seluruh tubuh bagaikan diselimut oleh hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan kepalang. Dan dilanjut dengan turunnya unsure api ke unsure angin, rasa sakit bertambah hebat, seluruh badan terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir yang terulang adalah unsure angin, badan rasanya seperti ditutup oleh angin kencang, tercerrai berai dan hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah berpisah, badan jasmani tak dapat dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati dalam ilmu kedokteran. Tetapi menurut teoori Buddhis, indra ke 8 (alajnavijnana) dari orang tersebut belum pergi, kananya blom boleh disentuh, dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada yang bisa mengeluarkan air mata, walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.

B.     49 Hari perjalanan Badan medio (ALAJNAVIJNANA)
Setelah seluruh 4 element besar terurai maka indra ke 8 pun (alajnavijnana) mulai meninggalkan badan jasmani, masa ini disebut masa medio (pralihan).  Alajnavijnana yang sudah telepas dari badan jasmani disebut juga dengan istilah ‘badan medio’.
Jangka waktu sebulum badan medio tumimbal-lahir kea lam yang lain adalah selama 49 hari (7 X 7 hari ). Menurut aliran Sukhavati dihitung sejak saat dia meninggal hingga hari ke 49. Sedangkan menurut aliran Tantrayana, setelah terlepas dari badan jasmani, badan medio akan pingsan dan baru sadar 3,5 – 4 hari sesudah hari kematiannya.
Kondisi umun badan Mediao :
Pada mulanya badan medio belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dunia, seandainya kita dapat melihat keberadaannya, akan tetlihat terang dan lincah. Dia merasa semua indranya lengkap : mata, telinga; hidung; lidah, badan dan pikirannya bekerja sangat baik. Orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang bisu dapat bicara, yang tuli dapat mendengar, badannyapun dapat melang-lang buana, bebas tiada  yang merintangi.
Jika pada waktu itu ada sanak kaluarganya yang mangadakan upacara kematian dan memanggil namanya, maka dia akan mendekati jenazah dan menjadi sadar bahwa dia telah tiada.
            Jika pada saat kematian keluarrga almarhum mengadakan upacara kematian dengan menyajikan sajian hasil pembunuhan hewan,misalnya : babi, ayam, ikan dan sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru semakin menambah penderitaan badan medio, bagaikan mendorong badan medio masuk ke 3 alam sengsara (binatang, preta, dan neraka),sebab hawa amarah dari binatang yang matipenasaran trsebut akan dapat menggangu perjalannan badan medio, sehingga badan medio merasa jengkel,  kesal dan marah. Kondisi yang buruk ini tidak menunjang  badan medio agar tumimbal lahir dialam yang lebih baik, tetapi justru menjerumuskannya kea lam yang rendah.

Kontak rasa badan medio pada 14 hari pertama:
            Apabila semasa hidupnya badan medio tidak pernah berjumpa/berjodoh dan tidak mengerti budha darma, pertolongan dari pihak keluarga tidak ada, maka bbadan medio hanya mengandalkan karmanya sendiri dalam perjalannan kematiannya.
            Mula-mula badan medio akan berkontak rasa dengan  6 cahaya yng muncul sebagai akibat dari karmannya sendiri. Jika karmanya berkontrakk rasa dengan alam:

            Dewa, akkan tampak sinar putih redup
Manusia, akan tampak sinar kuning redup
Asura, akan tampak sinar hijau redup
Binatang, akan tampak sinar biru redup
Preta,(setan gentayangan), tampak sinar merah redup
Neraka, akan tampak asap berkabut hitam.
Pada umumnya, tanda berkontak rasa dengan dunia baik, sesaat setelah meninggal dunia, satengah badan kebawah akan dingin lebih dahulu,  sedangkan jika berkontak rasa dengan dunia buruk, setengah badan ke atas yang akan menjadi dingin terlebih dahulu . acarnya parampara (sesepuh) mengatakan : jika bagian wajah yang terakhir menjadidingin akan tumimbal lahir di alam dewa, jika bagian tenggorokan yang terakhir dingin akan tumimbal lahir di alam asura, jika hati yang terakhir dingin akan kembali lahir sebagai manusia, jika yang terakhir dingin adalah bagian bawah perut akan menjadi setan gentayanan, jika dengkul  yang terakhir dingin akan menjadi binatang dan jika yang terakhir dingin telapak kaki maka akan masuk kea lam neraka. Bagi mereka yang tidak tumimbal lahir dari 6 alam kehidupan,pada saat seluruh badan telah menjadi dingin, bagian kepala tetap hangat.
Hari ke 1 :
Badan medio akan melihat warna biru cerah seperti biru langit, di tengahnya bertahta Buddha Vairocana (pilucena-Fo) diatas singga sana singa.
Hari ke 2 :
Terdapat sinar putih suci yang menyinari badan medio, sinar ini adalah sinar dari budha Aksobhya (Buddha Vajrasattva/cing kang-Fo) yang bertahta diatas singgasana gajah, disampingnya terdapat Bodhisattva Ksitigarbha dan Bodhisattva Maitreya.
Hari ke 3 :
Terdapat sinar kuning indah yang merupakan sinar dari budha Ratnasambhava (pao sen-Fo) yang bertahta diatas kuda sakti, disampingnya terdapat Bodhisattva Akasagarbha (si Kung Cang Posat) dan Bodhisattva Samantabhadra (Phu Sien Po-Sat).
Hari ke 4 :
Terdapat sinar merah yang bagaikan api unggun suci. Inilah sinar dari Amitabha Buddha dari surge Sukhavati di sebelah barat yang bertahan di singgasana burung merak, langsung menyinari badan medio, disampingnya terdapat Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan Se Im  Po-Sat) dan Budhisattva Mahasthamaprata (Ta Se Ce Po-Sat) yang berdiri dengan penuh welas asih.
Hari ke 5 :
Terdapat sinar hijau terang bagaikan pelangi suuci, ini adalah sinar dari Budha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo) yang bertahta pada singgasana mahluk yang berbadan manusia dan berkepala burung.
Hari ke 6 :
Jika pada hari ke 6 badan medio blom dapat menemukan penjemputan, tentulah karna akusala karma  yang telah di perbuatnya, atau selama hidupnya tidak mengenal Buddha darma, sehingga tidak yakin atas pertolongan gaib Buddha dan Bodhisattva.  
Hari ke 7 :
Jika badan medio melewatkan 6 harip pertama, maka hari ke 7 akan muncul 5 penjemput yang menduduki posisi timur,selatan, barat, utara, dan tengah.masing-masing mengangkat taangn kanan nya membentuk mudra penaklukan dan mengeluarkan sinar yang menyoroti badan medio. Pada saat yang sama,dari alam binatang memancarkan sinar biru redup, jangan terpikat pada sinar ini, karna munculnya sinar ini sebenarnya akibat kebodohan diri sandiri.
Hari ke 8 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4, dan bermata 9.  Bagiab kanannya berwarna putih, sedangkan kirinya berwarna merah,dan bagian tengahnya berwarna coklat merah tua. Gigi taringnya menonjol dan alisnya bersinar nagaikan listrik. Seluruh badannya bercahaya dan berteriak keras menggelegar. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Vairocana (Pilucena-Fo) yang datang menjemput, jangan takut dan kaget, bersujudlah kepadanya dan masuklah kedalam sinar bijak Hyang Buddha, jika saat itu sepenuh hati menyebut Nama Amitabha Buddha, masih dapat terlahir di surge Sukhavati bagian barat.
Hari ke 9 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna biru tua. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Aksobhya (Vajrasattva/Cing Kang-Fo), yang muncul akibat kontak rasa indra sendiri, jika disaat itu menyebut Namao amithaba Budha,dengan sepenuh hati, badan medio dapat tiba juga di surga Sukhavati bagian barat.
Hari ke 10 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna kuning tua. Malaikat ini sebenarmya penjelmaan dari Buddha Ratnasambhava (Pao Sen-fo) dari selatan.
Hari ke 11:
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6,berkaki 4. Bbagian kananya berwarna putih, sedangkirinya berwarna biru dan tengahnya berwarna merah.malaikat ini adalah penjelmaan  dari Buddha Amithaba (Omito- F0).
Hari ke 12 :
Tampak malaikat peminum darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6 dan berkaki 4.kanannya berwarna putih, kirinya berwarna merah dan bagian tengahnnya berwarna hijau tua. Malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo).
Hari ke 13 :
Pada hari ini akan muncul 8 malaikat berwajah merah disertai dengan 8 wanita berkepala aneka macam yang amat menakutkan masing-masing mengambil posisi mengurung dalam 2 lapisan, jangan takut karna semua ini muncul dari bayangan khayal indra badan medio.
Hari ke 14 :
Pada hari ke 14 badan medio akan mlihat berbagai bayangan malaikat wanita dengan bentuk rupa yang marah dan menyeramkan.semua penampakan ini timbul karna kontak rasa dari indra sendiri. Ke 28 malaikat wanita ini akan mengalilingi badan medio dalam 2 lapisan (luar dan dalam), yang berkedudukan sebagai penjaga pintu 4 penjuru.
Lapisan sebelah dalam
Timur :
1)      Berkepala kerbau dengan warna coklat merah tua,memegang tongkat dan mangkok dari tengkorak manusia.
2)      Berkepala ular warna merah kuning memegang bunga teratai.
3)      Berkepala macam tutut warna biru hitam memegang tombak bercula tiga.
4)      Berkepala monyet warna hitam memegang roda.
5)      Berkepala beruang es warna merah memegang tombak pendek.
6)      Berkepala beruang putih warna merah memegang tali yang terbuat dari usus manusia.
Barat  :
1)      Berkepala elang warna hijau kehitaman memegang tongkat kecil
2)      Berkepala kuda warna merah memegang kaki tangan mayat.
3)      Berkepala elang warna putih  memegang tongkat kayu.
4)      Berkepala anjing warna kuning memegang tongkat dan belati.
5)      Berkepala burung platuk warna merah memegang busur panah.
6)      Berkepala rusa warna hijau memegang hiolo.
Utara  :
1)      Berkepala serigala warna biru memegang bendera kecil.
2)      Berkepala kambing hitam warna merah memegang tongkat kayu runcing.
3)      Berkepala babi hutan warna hitammemegang tali urat gigi.
4)      Berkepala burung gagak warna merah memegang jenajah anak kecil.
5)      Berkepala gajah warna hijau hitam memegang jenazah dan mangkok tulang manusia.
6)      Berkepala ular warna biru memegang tali ular.
Selatan :
1)      Berkepala kelelawar warna kuning memegang pisau belati.
2)      Berkepala singa warna merah memegang hiolo.
3)      Berkepala kalajengking warna merah memegang bunga teratai.
4)      Berkepala burung warna putih memegang tongkat.
5)      Berkepala musang berwarna hitam kehijaun memegang tongkat  kayu.
6)      Berkepala macan warna kuning kehitaman memegang cawan babi berkepala manusia.
Lapisan sebelah luar
Timur : Berkepala burung berwarna hitam memegang kail bedsi.
Barat  : Berkepala singa warna merah memegang rantai besi.
Utara  : Berkepala ular warna hijau memegang klenengan/bel.
Selatan : Berkepala kambing hutan warna kuning memegang tali.
                        Hari ke 15 – 49.
Jika sampai hari ke 14 badan medio belum dapat menggunakan kesempatan yang ada untuk masuk kedalam alam Buddha, badan medio akan mendengar teriakan-teriakan yang memilukan dan menyeramkan, terasa angin yang besar dan kencag meniup dari arah belakang dan sekelilingnya menjadi gelap gulita.disaat itu munculah raja setan dan seluruh perajuritnya, bentuk badannya besar dan berwajah menakutkan, siap ,meminum darah manusia. Jika badan medio melihat keadaan ini janganlah takut , sadarlah bahwa segala wujud atau rupa itu pada hskekatnya adalah kosong. Sebutlah Namo Amitabha Buddha, maka semua gambaran akan lenyap dan badan medio segera tumimbal lahir di Surga Sukhavati.
3.      Tumimbal Lahir

Proses tumimba lahir
Budha menjelaskan peruses tumimbal-lahir  sebagai sebab musabab yang saling bergantungan. Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.
Menurut Gunaratna, terdapat sejumlah hukum yang secara fundamental bekerja dalam proses tmimba-lahir, yaitu :
1)      Hukum ketidak kekalan atau perubahan;
2)      Hukum penjadian atau dumadi ( law of becoming );
3)      Hukum kesinambungan atau kontinuita;
4)      Hukum karma atau aksi dan reaksi;
5)      Hukum daya tarik dan pertalian (low of attraction & affinity)
Berdasarkan abhidhamma ia menjelaskan momen-momen pikiran dan bekerjanya pikiran, sadar dan bawah sadar sehingga hingga kematian berlanjut dengan kelahiran kembali.
Kita tidak tau pasti dari mana seseorang berasal sebelum terlahir didunia . tetapi dengan melihat keadaan dan nasib seseorang, kita bisa memperkirakan bagai mana hidupnya terdahulu.[5]

a)      Dasa dharma dhatu
Didalam agama budha dikenal adanya 10 alam besar (Dasa Darma Dhatu) yang dapat di kelompokan menjadi 2 bagian, yaitu :
Kelompok yang tidak tumiba lahir lagi :

1)      Alam Buddha
Alam Buddha adalah alam yang maha sempurna, mahluk yang terlahir di ala mini telah melaksanakan Sad Pramita dengan sempurna hingga memperoleh tingkat pencerahan Bodhi yang tiada taranya  (Anuttara Samyaksambodhi), jasa dan pahalanya telah brlimpah-limpah serta mempunyai kemampuan membimbing semua mahluk agar memperoleh kesadaran bodhi.
2)      Alam Bodhisattva
Alam ini dihuni oleh mahluk yang telah melaksanakan sad Pramita dengan baik, tetapi pahalanya belum, berlimpah –limpah dan mempunyai kemampuan untuk menolong dirinya sendiri serta semua makhluk yang lain agar bebas dari alam sangsara.
3)      Alam Pratyeka Buddha
Makhluk yang dengan usaha dan pengetahuan sendiri telah melatih dan berhasil memutuskan dengan sempurna  12 rantai sebab musabab yang saling bergantungan  (Devadasang Pratityasamutpada) akan memperoleh pencerahan Pratyeka Bodhi dan berdiam di alam Pratyeka Buddha.
4)      Alam Arhat
Alam arhat dihuni oleh mahluk yang telah sempurna melaksanakan 4 kesunyataan mulia (Catur aryasatyani) dan sempurna pula di dalam melaksanakan Sila, Samadhi, Prajna dengasn mengikuti ajarn  Syamyaksambuddha sehingga mencapai pencerahan sravaka Bodhi untuk dirinya sendiri.
                        Kelompok yang masih tumimba lahir :
5)      Alam Dewa
Alam dewa diikuti oleh kegembiraan, usia panjang dan kemakmuran yang berlimpah-limpah. Makhluk yang dapat dilahirkan di alam ini, telah sempuna menjalankan 10 perbuatan bajik (Dasa Kusala Karma) dan melakukan dana demi kepentinga orang banyak.
6)      Alam Manusia
Alam Manusia bersifat derita, tidak kekal dan tanpa inti (Dukha, Anitthya, An-atman), dan setelah mati dapat di peruses tumimbal lahir di salah satu dari 10 alam besar sesuai karmanya. Untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, makhluk tersebut harus menjalankan Pancasila dan Dasa Kusala Karma.
7)      Alam Asura
Mahlukl yang dilahirkan di Alam Asura ini, tidak menjalankan panca Sila dan Dasa Kusala Karma. Akan tetapi melatih diri dengan Samadhi, sehingga memperoleh kekuatan gaib serta penuh dengan angkara murka. Alam Asura mempunyai nafsu keinginan dan emosi yang luar biasa, serta mempunyai kesaktian seperti dewa, tetapi ala mini diliputi dengan kegelisahan, ketidak tentraman, kemarahan dan jangka waktu hidupnya lebih panjang dari pada alam manusia.
8)      Alam Binatang
Alam ini diliputi dengan ketidakkekalan,kegelisahan,kebodohan serta tidak mempunyai kesempatan untuk memperbaikinya.
9)      Alam Setan Gentayangan
Makhluk yang dilahirkan dialam preta karna dia telah melanggar Panca Sila dan Dasa Kusala Karma serta pikirannya selalu diliputi dengan dosa, moha dan lobha (kebencian, kebodohan dan keserakahan ).
10)  Alam Neraka
Makhluk yang dilahirkan di alam neraka ini karena dia telah melanggar Panca Sila dan Dasar  Kusala Karma, serta pikirannya selalu diliputi dengan kebencian,kebodohan dan keserakahan yang tiada taranya, semasa hidupnya tidak berbakti  dan menyusahkan orang tua.

b)      Tanda-tanda berkontak rasa dengan berbagai alam
1)      Alam Surga Sukhayati
Mereka yang semasa hidupnya belajar dan membinadiri dengan metode memasuki lautan Samadhi Surga Sukhavati dan semua upacara,pikiran: perbuatannya selaras dengan Buddhi Darma.
2)      Alam Neraka
Saat akan tumimbal lahir didalam neraka, badan medio mendengar suara-suara yang sedih, menjadi tertarik dan mengikutinya, badan medio  akan masuk kerumah batu dan goa berwarna hitam dan putih, selanjutnya melewati dengan terowongan yang gelap.
3)      Alam Setan Gentayangan (Preta)
Alam ini disebut juga alam setan kelaparan, karna selalu merasa kelaparan, tak pernah puas, keinginan tak bisa tercapai, dia hanya menunggu  adanya upacara Ullambana atau upacara persembahan puja makanan yang dilakukan oleh orang sucobarul;ah ia dapat makan dan tertolong.
4)      Alam binatang beberapa goa dan gunung jika badan medio tertarik dan masuk kedalamnya , maka akan tumimba  lahir menjadi bintang.
Dalam alam in, badan medio akan melihat suatu padang rumput yang luas, beberapa goa dan gunung jika badan medio tertarik dan masuk kedalamnya, maka akan tumimbal lahir seperti binatang.
5)      Alam Asura
Badan medio akan melihat hutan kayu yang indah dan 2 roda api berputar mengagumkan, bila tertarik dan mendekatnya  maka akan segera tumimmbal lahir di alam asura.
6)      Alam Manusia
Muls-mula badan medio akan melihat ayah dan ibunya bermesraan dan bersenggama , bila tertarik dan jodoh nya berat ke pihak ibu maka akan terlahir sebagai laki-laki, sedangkan apabila lebih berat ke ayah akan terlahir sebagai wanita.
7)      Alam Dewa
Badan medio akan mendengar music kayangan yang merdu, tampak istana yang indah dan megah, kemudian akan dijemput oleh bidadari kayangan yang cantik dan dewa petugas yang tampan.


[1] Tjok Partadjaja Rai  dan Luh  Asli, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja: UNDIKSHA,2009), hlm. 243

[2] http://bhuanapuja.blogspot.com/2014/01/panca-yadnya.html Diakses pada 22 April 2015 pukul 12:00

[4]Mukti Ali, Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988), hlm. 543
[6] Binroh Disbintald, Ajaran Pokok Hindu Dharma, (Jakarta: Dinas Percetakan Raya, 2004), hlm. 432        
 [7]Okta Diputhra, Meditasi I, (Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004). hlm. 124
[8]Okta Diputhra, Meditasi II, (Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004), h.141
[9] Krishnanda Wijaya-Mukti. Wacana Buddha-Dharma.(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), hlm. 213

Komentar