CATUR MARGA, PANCA YADNYA
DAN AJARAN BUDDHA TENTANG BHAVANA
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Usup mardani: 1113032100072
A. Pengertian Catur Marga Yoga
Catur marga berasal dari dua kata yaitu catur dan marga. Catur
berarti empat dan marga berarti jalan/cara atapun usaha. Jadi catur marga
adalah empat jalan atau cara umat Hindu untuk menghormati dan menuju ke jalan
Tuhan Yang Maha Esa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Catur Marga juga
sering disebut dengan Catur Marga Yoga.
Sesungguhnya kata yoga, dapat juga berarti masuk atau menyatukan diri, sehingga
Catur Marga Yoga dapat pula diartikan empat jalan untuk menyatukan diri dengan
Tuhan untuk mencapai moksa. Keempat jalan ini memiliki nilai yang sama namun
menjadi sangat utama apabila didasari dengan kesungguhan hati dan Sradha yang
mantap. Keempat jalan itu adalah Bhakti Marga Yoga, Karma Marga Yoga, Jnana
Marga Yoga, dan Raja Marga Yoga. Sumber ajaran catur marga ada diajarkan dalam
pustaka suci Bhagawadgita, terutama pada trayodhyaya tentang karma yoga marga
yakni sebagai satu sistem yang berisi ajaran yang membedakan antara ajaran
subha karma (perbuatan baik) dengan ajaran asubha karma (perbuatan yang tidak
baik) yang dibedakan menjadi perbuatan tidak berbuat akarma dan wikarma
perbuatan yang keliru.
Karma memiliki dua makna
yakni karma terkait ritual atau yajna dan karma dalam arti tingkah perbuatan. Kedua,
tentang bhakti yoga marga yakni menyembah Tuhan dalam wujud yang abstrak dan
menyembah Tuhan dalam wujud yang nyata, misalnya mempergunakan nyasa atau
pratima berupa arca ataumantra. Ketiga, tentang jnana yoga marga yakni jalan
pengetahuan suci menuju Tuhan Yang Maha Esa, ada dua pengetahuan yaitu jnana
(ilmu pengetahuan) dan wijnana (serba tahu dalam penetahuan itu). Keempat, Raja
Yoga Marga yakni mengajarkan tentang cara atau jalan yoga atau meditasi (konsentrasi
pikiran) untuk menuju Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun
tujuannya adalah Sebagai jalan atau sarana untuk mempersatukan manusia dan
tuhan yang maha esa.[1]
B. Macam –macam Catur Marga Yoga
Di dalam ajaran kerohanian Hindu terdapat jalan untuk mencapai
kesempurnaan, yaitu moksa, dengan menghubungkan diri dan pemusatan pikiran
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga Yoga. Catur
marga yoga terdiri dari empat bagian yaitu bhakti marga yoga, jnana marga yoga,
karma marga yoga dan raja marga yoga.
1.
Bhakti Marga Yoga
Kata Bhakti berarti menyalurkan atau mencurahkan cinta yang tulus
dan luhur kepada Tuhan, kesetiaan kepadaNya, perhatian yang sungguh-sungguh
untuk memujanya. Kata Marga berarti jalan atau usaha, sehingga Bhakti Marga
Yoga adalah jalan pengabdian kepada Ida Sang Hyang Widhi melalui cinta kasih
yang luhur dan mulia. Untuk memupuk sradha harus adanya rasa bhakti dan kasih
sayang terhadap Tuhan, dalam ajaran Agama Hindu dikenal 2 bentuk bhakti yaitu
1)
Aphara
Bhakti, merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan
dengan berbagai permohonan. Dan permohonan itu wajar mengingat keterbatasan
pengetahuan kita. Namun, permohonan yang dimaksudkan itu wajar dan tidak
berlebihan
2)
Parabhakti,
merupakan bhakti yang dilakukan melalui pemujaan atau persembahan dengan rasa
tulus iklas, menyerahkan diri sepenuhnya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Penyerahan diri sepenuhnya kepadaNya bukanlah dalam pengertian pasif tidak mau
melakukan aktivitas, tetapi ia aktif dan dengan keyakinan bahwa bila bekerja
dengan baik dan tulus niscaya akan memperoleh pahala yang baik pula.
Dalam pustaka Hindu, diuraikan beberapa jenis bentuk bhakti yang
disebutkan “Bhavabhakti”, sebagai berikut:
1)
Santabhava
adalah sikap bhakti seperti bhakti atau hormat seorang anak terhadap ibu dan
bapaknya.
2)
Sakyabhava
adalah bentuk bhakti yang meyakini Hyang Widhi, manifestasiNya, Istadewata
sebagai sahabat yang sangat akrab dan selalu memberikan perlindungan dan
pertolongan pada saat yang diperlukan
3)
Dasyabhava
adalah bhakti atau pelayanan kepada Tuhan seperti sikap seorang hamba kepada
majikannya.
4)
Vatsyabhava
adalah sikap seorang penyembah atau memandan Tuhan seperti anaknya sendiri.
5)
Kantabhava
adalah seorang penyembah atau bhakta seperti sikap seorang istri terhadap suami
tercinta.
6)
Madhuryabhava
adalah bentuk bhakti sebagai cinta yang amat mendalam dan tulus dari seorang
bhakta kepada Tuhan.
Gejala-gejala dari adanya Bhakti Marga adalah:
a)
Kerinduan
untuk bertemu kepada yang dipujanya
b)
Keinginan
untuk berkorban
c)
Keingingan
untuk menggambarkan
d)
Melenyapkan
rasa takut
e)
Melahirkan
rasa seni
f)
Melahirkan
rasa terharu
g)
Melahirkan
mitologi
Seseorang yang
menjalani Bhakti Marga disebut Bhakta, sikapnya selalu merasa puas dalam
segala-galanya, baik dalam kelebihan dan kekurangan. Sikapnya yang tenang dan
sabar membawanya pada keseimbangan batin yang sempurna, seorang Bhakta akan
selalu mengembangkan sifat Catur Paramitha yaitu Maitri, Karuna, Mudita dan
Upeksa. Selain itu, seorang bhakta akan selalu membebaskan diri dari keangkuhan
(ahamkara) dan tidak ada ikatan
sama sekali terhadap apapun karena seluruh kekuatannya dipakai untuk memusatkan
pikiran kepada Hyang Widhi.
2.
Karma Marga Yoga
Karma Marga Yoga adalah jalan atau usaha untuk mencapai
kesempurnaan atau moksa dengan perbuatan dan bekerja tanpa pamrih. Dalam
Bhagawadgita tentang Karma Yoga dinyatakan sebagai berikut: Tasmad asaktah
satatam karyam karma samcara, asakto hy acaran karma param apnoti purusah.
(Bhagawadgita III. 19)
Artinya: ’’Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai
kewajiban tanpa terikat pada hasilnya, sebab dengan melakukan kegiatan kerja
yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama’’.
Pada hakikatnya seorang karma yoga selalu mendambakan pedoman rame
inggawe sepi ing pamrih. dengan menyerahkan keinginannya akan pahala yang
berlipat ganda. Hidupnya akan berlangsung dengan tenang dan dia akan
memancarkan sinar dari tubuhnya maupun dari pikirannya. Bahkan masyarakat
tempat hidupnya pun kana menjadi bahagia, sejahtera, ia akan mencapai kesucian
batin dan kebijaksanaan.
3.
Jnana Marga Yoga
Jnana artinya, kebijakan filsafat (pengetahuan). Yoga berasal dari
urat kata Yuj artinya, menghubungkan diri. Jadi, Jnana Marga Yoga artinya
mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan jalan mempelajari
ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan-ikatan keduniawian.
Tiada ikatan yang lebih kuat daripada Maya, dan tiada kekuatan yang lebih ampuh
daripada Yoga untuk membasmi ikatan-ikatan Maya itu. Untuk melepaskan
ikatan-ikatan kita harus mengarahkan segala pikiran kita dan memaksanya kepada
kebiasaan-kebiasaan suci. Akan tetapi, bila kita ingin member suatu bentuk
kebiasaan suci pada pikiran kita, akhirnya pikiran harus menerimanya. Sebaiknya
bila pikiran tidak mau menerimanya maka haruslah kita akui bahwa segala
pendidikan yang kita ingin biasakan itu tidak ada gunanya. Jadi proses
pertumbuhan merupakan hal yang mutlak, sebagai jalan tumbuhnya pikiran,
perbuatan lahir, pelaksanaan swadharma, dan sikap batin (wikrama) sangat
diperlukan dimana perbuatan lahir adalah penting, karena jika tidak berbuat
maka pikiran kita tidak dapat diuji kebenarannya. Perbuatan lahir menunjukkan
kualitas sebenarnya dari pikiran kita.
Ada tiga hal yang penting dalam hidup ini yaitu kebulatan pikiran,
pembatasan pada kehidupan sendiri, dan keadaan jiwa yang seimbang atau tenang
maupun pandangan yang kokoh, tentram, dan damai. Ketiga hal tersebut di atas
merupakan Dhyana yoga. Untuk tercapainya perlu dibantu dengan Abhyasa,yaitu
latihan-latihan dan vairagya yaitu keadaan tidak mengaktifkan diri. Kekuatan
pikiran kita lakukan saat kita berbuat apa saja, dan pikiran harus kita
pusatkan kepada-Nya. Dalam urusan-urusan keduniawian pemusatan ini mutlak
diperlukan. Hal ini bukan hanya diperlukan untuk sukses di dunia, tetapi juga
dibutuhkan untuk kemajuan spiritual atau batin. Usaha untuk menjernihkan
kegiatan kita sehari-hari ialah kehidupan rohani. Apapun yang kita laksanakan,
berhasil atau tidaknya tergantung kepada kekuatan pemusatan pemikiran kita
kepada-Nya. Inilah kelebihan Jnana Marga (jalan ilmu pengetahuan) dibandingkan
dengan marga-marga lainnya.
Dengan dikuasainya ilmu pengetahuan, manusia dapat bekerja lebih
efektif dan efisien, dibandingkan dengan mereka yang dungu dan sedikit
pengetahuannya, baik itu masalah pengetahuan duniawi ataupun pengetahuan
tentang agama, karena ilmu pengetahuan itulah yangakan menuntun manusia menuju
ke jalan yang benar untuk mencapai tujuan akhir. Maka dari itu, kejarlah ilmu
pengetahuan terlebih dahulu sebanyak dan seluas mungkin.
4.
Raja Marga Yoga
Raja Marga Yoga adalah suatu jalan mistik (rohani) untuk mencapai
moksa, raja marga yoga mengajarkan bagaimana mengendalikan indria-indria dan
vritti mental atau gejolak pikiran yang muncul dari pikiran melalui tapa,
brata, yoga dan semadhi. Tapa dan brata merupakan suatu latihan untuk
mengendalikan emosi atau nafsu yang ada dalam diri kita kearah yang lebih
positif sesuai dengan petunjuk ajaran kitab suci. Sedangkan yoga dan semadhi
adalah latihan untuk menyatukan atma dengan Brahman dengan melakukan meditasi
atau pemusatan pikiran.
Adapun tiga jalan pelaksanaan yang ditempuh oleh para raja Yogin
yaitu melakukan Tapa, Brata, Yoga, dan Samadhi. Tapa dan Brata merupakan suatu
latihan untuk mengendalikan emosi atau nafsu dengan petunjuk ajaran kitab suci.
Sedangkan Yoga dan Samadhi adalah latihan untuk dapat menyatukan atman dengan
Brahman dengan melakukan meditasi atau pemusatan pikiran.
a) Pengertian Panca Yadnya
Yadnya adalah korban
suci yang dilakukan secara tulus dan ikhlas tanpa pamrih. Beryadnya merupakan
kewajiban bagi umat Hindu dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut ajaran agama
Hindu Yadnya ada lima, yang biasa
disebut Panca Yadnya artinya lima korban suci dengan tulus ikhlas.[2]
Adapun tujuannya, tujuan diadakannya sebuah Yadnya yaitu untuk
membalas Yadnya yang dahulu dilakukan oleh Ida Sang Hyang Widhi ketika
menciptakan alam semesta beserta isinya. Hal tersebut dapat kita lihat dari
sloka dibawah ini:
“sahayajnah prajah srishtva, paro vacha pajapatih, Anema prasavish
dhvam, esha yostvisha kamaduk”
Artinya: Pada zaman dulu kala Praja Pati (Tuhan Yang Maha Esa)
menciptakan manusia dengan Yadnya dan bersabda. Dengan ini engkau akan
mengembang dan akan menjadi kamanduk (memenuhi) dari keinginanmu.[3]
b)
Macam-macam Yadnya.
1.
Dewa
Yadnya.
Ialah suatu
korban suci/ persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh
manifestasi- Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu
selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada
asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya
(bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di
tempat- tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari- hari suci,
hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun
hari- hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya
Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain- lain.
2.
Pitra
Yadnya.
lalah suatu
korban suci/ persembahan suci yang ditujukan kepada Roh- roh suci dan Leluhur
(pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan
upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang
disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian
dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah
leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan
mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati
serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal
tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah
berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.[4]
3.
Manusia
Yadnya.
Adalah suatu korban suci/ pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup
manusia. Di dalam
pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya
ialah:
a.
Upacara
selamatan (Jatasamskara/ Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
b.
Upacara
selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
c.
Upacara
selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton/ weton/ 210 hari).
d.
Upacara
perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala/ Citra Wiwaha/
Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan- kegiatan
spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi
kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan,
dan lain- lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di
dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata
cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang
sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah
termasuk Manusa Yadnya.
4.
Resi
Yadnya.
Adalah suatu
Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha
Resi, orang- orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya
dapat diwujudkan dalam bentuk:
Penobatan calon sulinggih
menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
a.
Membangun
tempat- tempat pemujaan untuk Sulinggih.
b.
Menghaturkan/
memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
c.
Mentaati,
menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
d.
Membantu
pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina,
dan mengembangkan ajaran agama.[5]
5.
Bhuta
Yadnya.
Adalah suatu
korban suci/ pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk- makhluk
rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala),
hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang
merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara
Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan/ alam
semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan
untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita
yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.[6]
A.
Pengertian Bhavana
Bhavana berarti
pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya.
Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhavana adalah
samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek.
Samadhi yang
benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapat
menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk
karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan
pikiran pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran
bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah
samadhi, maka yang dimaksud adalah “Samadhi yang benar”.[7]
1.
Faedah
bhavana
Bhavana atau
meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang yang
melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari
praktek meditasi itu adalah :
a.
Bagi
orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan diri dari
ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan
b.
Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan
menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan
yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap).
c.
Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau
persoalan yang tidak putus-putusnya, meditasi akan menolong dia untuk
menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk
mengatasi persoalan-persoalan tersebut
d.
Bagi
orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk
mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu
e.
Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam
hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian
terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya
takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya.
f.
Bagi
orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya
atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan
perkembangan yang menuju pada kepuasan batin.
g.
Bagi
orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian
akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong dia utnuk
memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang
tidak ada gunanya.
h.
Bagi
orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi akan
menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi
serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama
i.
Bagi
seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan
dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien.
j.
Bagi
orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat dan
kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk
kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain.
k.
Bagi
orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan
ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang
lebih mampu daripadanya.
l.
Bagi
seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini
dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia
untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa
ke tujuannya.
m.
Bagi
orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, meditasi
akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan
ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari
penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan
yang baru bagi dirinya
n.
Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan
menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi
kelemahan-kelemahannya.
o.
Bagi
orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang
bahayanya sifat iri hati itu.
p.
Bagi
orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk
belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu.
q.
Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras
yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat
cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat
dirinya.
r.
Bagi
orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan
untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat
berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai
taulannya.
s.
Bagi
orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka
nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya
lagi.
t.
Bagi
orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih
tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala
sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam
persoalan-persoalan yang remeh.
Selanjutnya, dalam agama
Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala
penderitaan, untuk mencapai Nibbana.
Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari
latihan meditasi. Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam
pikiran sendiri.
2.
Cara
melaksanakan bhavana
Orang yang baru
belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi.
Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang
di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya
orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika
meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat,
baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di
tempat yang ramai.
Waktu untu melaksanakannya
dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi
hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam hari antara pukul 17.00
sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditentukan, maka waktu
tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya
dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau kontinyu. Bila
meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu.
Orang bebas
memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah duduk
bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri,
dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi
setengah sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan,
maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala
harus tegak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan
bersandar. Mulut dan mata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya
diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila
badan jasmani merasa tidak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh
atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan,
disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju,
maka dapat dilakukan dalam berbagai posisi, baik berdiri, berjalan, maupun
berbaring.
Sebelum
melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru
meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat
dicapai sukses dalam bermeditasi.
Pada saat
hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selanjutnya,
laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah
dipilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini
biasa, karena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya
orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran
itu lari dari obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan
pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik,
maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh.[8]
C. Macam-macam bhavana
1)
SAMATHA
BHAVANA
a.
Aharepatikulasanna
Merupakan perenungan terhadap makanan yang menjijikkan
b.
Catudhatuvavatthana
Yaitu analisa
terhadap empat unsur yang ada di dalam badan jasmani (patavidhatu, apodhatu,
tejodhatu, vayodhatu)
c.
Empat
apamañña
Keadaan yang tidak terbatas: Metta, Karuna, Mudita, Upekkha
d.
Empat
arupa
Perenungan tanpa bentuk atau materi
a)
Akasanancayatana,
obyek ruangan tanpa batas.
b)
Viññanancayatana,
obyek kesadaran tanpa batas
c)
Akincaññayatana,
obek kekosongan
d)
Nevasaññanasannayatana,
obyek pencerapan pun tidak bukan pencerapan.
e.
Sepuluh
kasina
Perwujudan benda, yaitu :
a)
apathavi
kasina (wujud tanah)
b)
Apo
Kasina (wujud air)
c)
Tejo
kasina (wujud api)
d)
Vayo kasina (wujud udara)
e)
Nila kasina (wujud warna biru)
f)
Pita
kasina (wujud warna kuning)
g)
Lohita kasina (wujud warna merah)
h)
Odata
kasina (wujud warna putih)
i)
Aloka
kasina (wujud cahaya)
j)
Akasa
kasina (wujud ruang terbatas)
f.
Sepuluh
asubha
Perwujudan mayat yang menjijikkan
g.
Uddhumataka
mayat yang melembung/membengkak
h.
Vinilaka
mayat dengan warna kebiru-biruan
i.
Vipubbaka
mayat bernanah
j.
Vicchiddaka
mayat terbelah di tengah
k.
Vikkhayitaka
mayat dimakan binatang
l.
Vikkhittaka
mayat hancur lebur
m.
Hatavikkhittaka
mayat yang busuk & hancur
n.
Lohitaka
mayat yang berdarah
o.
Puluvaka
mayat yang dikerumuni belatung
p.
Attikha
perwujudan tengkorak
q.
Sepuluh
Anussati
a)
Buddhanussati,
perenungan tehadap sifat-sifat Sang Buddha bahwa beliau telah terbebas dari
lobha, dosa dan moha.
b)
Dhammanussati, perenungan terhadap Sang Dhamma
yang tidak terkena lobha, dosa dan moha
c)
Sanghanussati,
perenungan terhadap sangha yang terbebas dari Lobha, dosa dan moha.
d)
Silanussati,
perenungan terhadap sila yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
e)
Caganussati,
perenungan terhadap kebajikan yang telah dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari.
f)
Devatanussati,
perenungan terhadap para dewa
g)
Marananussati,
perenungan terhadap kematian yang akan dialami semua mahluk.
h)
Kayagatassati,
perenungan terhadap kekotoran badan
jasmani.
i)
Anapanassati,
perenungan terhadap masuk keluarnya napas.
j)
Upasamanussati,
perenungan terhadap keadaan nibbanā.[9]
2)
VISSANA
BHAVANA.
Vipasasana
berarti melihat benda-benda dalam keadaan sebenarnya. Kontenplasi tentang tiga
hal yang karakteristik:
a)
anicca
berarti tidak adanya kekakalan kelanggengan
b)
Dukkha
berarti penderitaan
c)
Anatta
berarti tidak adanya jiwa
Vipassana
membawa kita kepada tingkatan arahat. dengan konsentrasi kita dapat
membangkitkan enam tingkatan kegaiban
.
a.
Mata
dewa yang dapat menjauh
b.
Pendengaran dewa yang dapat mendengar sesuatu
yang lain orang tidak dapat mendengarnya.
c.
dapat
melihat dan mengetahui kehidupan-kehidupan yang lampau.
d.
Dapat
membaca pikiran-pikiran orang lain
e.
Mempunyai
kekuatan-kekuatan psichis (gaib)
f.
Dapat mempunyai pengetahuan yang luar biasa
dan bijaksana mengenai penghancuran dan nafsu-nafsu dan tercapainya tingkat
arahat.
Untuk melaksanakan pelajaran dari sang Buddha, bagi tiap-tiap orang
adalah yang terpenting sekali memelihara dan mengembangkan dalam dirinya
tentang kebijaksanaan dari Sila, Samadhi, dan Panna. Orang seharusnya tidak
ragu-ragu lagi untuk memiliki tiga macam kebijaksaan itu.
Sila adalah suatu pengekangan diri, atau tali kendali diri, untuk
orang-orang biasa adalah Panca-Sila sebagai ukuran yang minimum. untuk para
Bhikksu ialah peraturan dari Patimokha-Sil. orang-orang yang telah taat
menjalankan Sila itu akan dilahirkan kembali dalam kehidupan berbahagia sebagai
manusia atau sebagai dewa. Tetapi bentuk yang biasa dari Lokiya-Sila itu, tidak
dapat menjamin seseorang terhadap kemunduran atau terhadap jatuh kembali dalam keadaan
yang lebih rendah, atau kedalam kehidupan yang lebih buruk.
Jika seseorang telah dapat menjalankan Sila ini dengan sempurna,
maka ia akan terjamin, dan tidak dapat jatuh lagi kedalam keadaan yang lebih
rendah, dan ia akan selalu terpimpin kedalam kehidupan yang lebih berbahagia,
lahir sebagai manusia atau sebagai dewa. Maka itu tiap-tiap orang harus
menetapkan suatu tujuan didalam kewajibannya untuk menjalankan Lokuttara-Sila
itu.
Tidaklah cukup kalau mengerjakan Sila saja: adalah perlu juga
menjalankan Samadhi. Samadhi adalah pemusatan dan ketenangan dari pikiran.
Pikiran yang biasa atau pikiran yang tidak terkendalikan, adalah keadaan
berkelana ketempat-tempat lain; tidak dapat dikontrol terus, ia selalu
mengikuti bermacam-macam cita-cita, bentuk-bentuk pikiran, bayangan-bayangan
dan lain-lainya. Untuk mencegah berkelananya pikiran itu, maka pikiran tersebut
harus ditujukan kepada objek Samadhi yang telah ditentukan.
Samadhi terdapat dua macam, yaitu:
1)
Lokiya
Samadhi
2)
Lokuttara
Samadhi
kedua-duanya ini adalah praktek Samatha Bhavana, yaitu: Anapana,
Mettana, Kasina, dan lain-lainnya, yang dapat membawa kita kedalam perkembangan
dari keadaan Lokiya Yhana, seperti empat Rupa Yhana dan empat Arupa yhana, yang
menyebabkan orang dapat dilahirkan dialam Brahma.
Kehidupan dalam Brahman itu berlangsung sangat lama, ada yang
lamanya satu kalpa, dua, empat, delapan dan seterusnya sampai batasnya delapan
puluh empat ribu maha kalpa, menurut segala kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi. Tetapi kehidupan seorang Brahma itu juga menemui kematian, dan akan
lahir kembali sebagai manusia atau dewa. Kalauia menjalankan kehidupan yang
becik sepanjang masa, maka ia akan mendapat kebahagiaan didalam kehidupan yang
lebih tinggi. tetapi, jika ia belum bebas dari kekotoran (kilesa), maka
sewaktu-waktu ia dapat terjerumus dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang
cemar (rendah).
Lokiya Samadhi masih belum sempurna. Karena itu, sebaiknya kita
menjalankan Lokuttara Samadhi, yang tidak lain dari Mangga Samadhi dan Phala
Sanadhu, Untuk dapat menjalankan Samadhi ini penting sekali kita harus
memelihara Panna, yaitu Kebijaksanaan.
maka terdapatlah dua macam Panna, yaitu: Panna dan Lokuttara Panna.
Pada jaman sekarang, pengetahuan-pengetahuan dari kesusteraan, kesenian, ilmu
pengetahuan atau kemajuan keduniaan seperti sekarang, biasanya doanggap sebagai
Panna. Tetapi bentuk Panna ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Bhavana
(perkembangan hidup). Pun tidak dapat dianggap sebagai suatu kebahagiaan yang
sejati, sebab semua alat senjata yang diapakai untuk menghancurkan manusia,
adalah berdasarkan inspirasi dari ilu pengetahuan duniawi ini.
Arti dari Lokiya Panna sebenarnya, kalu ditinjau dari segala sudut
lainnya, hanyalah kebahagian, dan tidak ada penderitaan dalam bentuk apapun
juga. Ilmu pengetahuan didalam organisasi yang baik dan bebas, yang dijalankan
dengan tidak menimbulkan penderitaan, yaitu belajar untuk mencapai pengetahuan
dari kebenaran atau menyelidiki naskah-naskah, dan mempelajari tiga tingkatan
pengetahuan didalam Vipassana Bhavana, yaitu:
a.
Satu-maya-panna,
ialah pengetahuan yang berdasarkan atas belajar.
b.
Cinta-maya-panna,
ialah pengetahuan yang berdasarkan atas berfikirn dan
c.
Bhavana-maya-panna, ialah pengetahuan yang
berdasarkan atas perkembangan batin adalah Lokiya Panna. Pahala dari memiliki
Lokiyana Panna, ialah seseorang akan mendapatkan kebahagiaan didalam kehidupan
yang lebih tinggi, tetapi tidak dapat mencegah resiko-resiko dalam kelahiran
kembali dineraka atau dialam kehidupan yang lebih rendah dan sengsara.[10]
3). METTA BHAVANA
Metta atau cinta kasih
merupakan sifat bajik yang tidak hanya dapat membawa kebahagiaan bagi seseorang
yang memancarkan sifat cinta kasih, tetapi sifat cinta kasih juga akan
terpancar untuk semua makhluk dimanapun mereka berada. Karena kekuatan metta
akan memancar kesegala arah dan tak terbatas pada makhluk-makhluk tertentu,
melainkan pada semua makhluk hidup yang ada disegenap alam kehidupan. Sedangkan
bhavana dalam hal ini berari mengembangkan. Dengan demikian meditasi Metta
Bhavana merupakan mediasi yang ditujukan untuk menggembangan sifat-sifat bajik
dalam diri seseorang kepada semua makhluk melalui perenungan “semoga semua
makhluk hidup berbahagia, penuh kedamaian, bebas dari kebencian,
kesukaran serta bebas penderitaan ”.
Dengan mengembangan
sifat-sifat bajik yang ada dalam diri meditator melalui praktik meditasi metta
bhavana, dalam diri mereka akan diliputi oleh kebahagiaan serta kedamaian.
Kekuatan cinta kasih akan terpancar keluar tubuh melalui perbuatan-perbuatan
mereka yang penuh perhatian, kehati-hatian serta tidak tergesa-gesa dalam
pengambilan keputusan. Sehingga setiap perbuatan yang akan dilakukan penuh
perenungan guna mengurangi efek buruk yang dapat merugikan setiap makhluk hidup
.
Dalam buku panduan
meditasi metta bhavana yang dikarang oleh Sayadow U Janaka sangat membantu
sebagai pedoman untuk melaksanakan meditasi metta bhavana. Tetapi kurang
menekanan cara pelaksanaan meditasi yang digunakan sehingga dikawatirkan akan
menimbulkan kesalah pahaman bagi pemula.[11]
Daftar Pustaka
Ali,
Mukti, Agama-Agama Dunia,
(Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988).
Diputrha, Okta, Meditasi
I, ( Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Diputra, Okta, Meditasi
II, (Jakarta: Vajra Dharma Nusantara, 2004).
Disbintald,
Binroh, Ajaran Pokok Hindu Dharma, (Jakarta: Dinas Percetakan Raya,
2004)
Mukti,
Krishnanda Wijaya, Wacana Buddha-Dharma,
(Jakarta: Yayasan Dharma Pembangunan, 2003)
Rai,
Tjok Partadjaja dan Asli, Luh, Pendidikan Agama Hindu, (Singaraja:
UNDIKSHA, 2009).
http://bhuanapuja.blogspot.com/2014/01/panca-yadnya.html
di akses pada 22 April 2015
http://click-gen.blogspot.com/2011/12/pengertian-tujuan-serta-fungsi-dan.html
di akses pada 22 April 2015
http://dharmajayantipande.blogspot.com/2011/10/rsi-yadnya.html
di akses pada 22 April 2015
http://andisetiyono.blogspot.com/2013/02/metta-bhavana-sebagai-pembentuk-watak.html
di akses pada 22 April 2015
http://buddhaschool.blogspot.com/2011/04/pembagian-bhavanameditasi-meditasi.htm di akses pada 22 April 2015
Upacara kelahiran, Perkawinan dan
kematian dalam agama Hindu
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
A.
Upacara
bayi dalam kandungan
Dalam agama hindu,ritual atau upacara yang dilakukan ketika bayi
masih dalam kandungan disebut Magedog-gendongan.Upacara ini dilakukuan
setelah kandungan berusia di bawah lima bulan.Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan dan memohon keselamatan jiwa si bayi agar kelak menjadi orang yang
berguna untuk dalam masyarakat nanti.
a.
Tata
cara upacara magedog-gendongan:
Dilakukan di dalam pemandian di dalam rumah,ibu yang sedang
mengandung disucikan,di tempat suci itu disertakan pula alat upacara berupa
benang hitam satu ikat yang kedua ujungnya diikatkan pada cabang kayu
dadap,bambu runcing,air berisikn ikan yang masih hidup,ceraken dibungkus dengan
kain lalu cabang kayu dadap yang terikat dengan kayu dadap ditancapkan pada
pintu gerbang.Ceraken yang berisi air dan ikan dijinjing oleh sang ibu,sang
suami memegang dengan tangan kiri,sedangkan tangan kanan suami memegang
bamboo,air suci dipercikan pada sesajian yang telah disediakan,.setelah itu
suami istri bersembahyang memohon keselamatan agar bayi yang di dalam
kandungan selamat sampai lahirnya nanti tanpa hambatan,upacara ini
disertakan pula mantra-mantra sepertidi Bali digunakan mantra MatrpujaNadisraddhadan dan Prapajapalopuja yang samata-mata
dilakukan untuk keselamatan ibu.[1]
b.
Kelahiran
bayi
Upacara Jatakarma yaitu upacara kelahiran bayi yang dilaksanakan
ketika sebelum tali pusar bayi itu terputus,jika tali pusar si bayi sudah
terlanjur lepas,harus dibuatkannya suatu upakara yang bertujuan untuk
membersihkan secara spiritual tempat-tempat suci dan bangunan-bangunan yang ada
disekitarnya.
c.
Tata
cara upacara
Jatakarma
Pusar si bayi dibungkus dalam secarik kain lalu dimasukkan ke dalam
sebuah kulit ketupat kecil,disertai dengan sejenis rempah-rempah yang
khasiatnya menghangatkan,seperti cengkeh.Lalu ketupat kecil ini digantung
menghadap arah kaki tempat tidur si bayi
.Terdapat tiga macam tujuan dari upacara ini,yaitu
Medha Jhana,yaitu diadakan upacara ini untuk menumbuhkan
intelektual atau kepintaran anak.Pada saat upacar berlangsung,sang ayah
memberikan satu sendok kecil madu atau minyak dari susu kepada bayinya,di
telinga bayi itu sang ayah mengucapkan mantra Gayatri.Tujuan dari semua
ini adalah agar bayi tumbuh cerdas ,rupa yang bagus,dan kesehatan yang baik
karena unsure madu dan minyak susu itu merupakan sumber kecerdasan,wajah dan
kesehatan.
Ayusya,yaitu upacara yang bertujukan adanya umur panjang bagi si
bayi tersebut.Pada telinga kanannya,sang ayah mengucapkan mantra yang berbunyi
:”Api adalah berumur panjang,melalui dewa api memohon kepada tuhan agar anak
itu diberikan umur panjang,air adalah berumur panjang,melalui dewa air memohon
kepada tuhan agar anak itu diberikan umur panjang,laut adalah umur
panjang…..”dan seterusnya.
Kekuatan juga dimohonkan untuk pengucapan mantra-mantra
kehadapan tuhan,antara lain: Anggad anggad sambhaswasi hrdayadaadhhijase,atma
wai putranawabhasi sajiwa saradah satam.Artinya :jadikanlah sekuat
batu,jadikanlah sekuat baja,jadikanlah sekuat emas anak kami ya Tuhan,semoga
menganugrahi kehidupan seratus tahun.[2]
d.
Perbedaan-perbedaan
Terdapat beberapa perbedaan dalam upacara Jatakarma dalam umat
Hindu di India dan umat Hindu di Indonesia.Jika di India sehari sebelum
melahirkan,sang ibu dianjurkan memasuki kamar yang telah disediakan khusus
untuk proses kelahiaran,yang telah pula diberikan doa-doa untuk mengusir
kekuatan negative serta penjagaan terhadap kekuatan negatife yang akan
masuk.Pada saat proses kelahiran,sang ibu berbaring,lalu semua pintu kamar
dibuka tetapi pintu rumah luar ditutup,konon cara seperti ini juga digunakan di
Jerman ketika proses kelahiran berlangsung.Pada saat itu pula diucapkan doa-doa
untuk melindungi ibu dan bayinya dari gangguan-gangguan negative.Pada tradisi umat
Hindu di Hindia,tidak adanya doa ataupun upacara mengenai ari-ari.
Lain pula halnya di Indonesia,dalam kepercayaan umat Hindu di
Indonesia,beranggapan bahwa mulai saat setelah lahir,pada saat itu juga bayi
itu diasuh oleh Sang Hyang Kumara ,dan untuk itu pula dibuatkan sebuah
tempat bayi itu tidur yang disebut pelangkir Kumara.Sang Hyang Kumara ini
ditugaskan oleh Bhatara Siswa menjadi pengasuh serta pelindung anank-anak yang
seketika itu giginya belum tanggal.Sesajen untuk Kumara ini berisi nasi putih
dan nasi kuning yang berisikan telur dadar,sepotong kecil pisang
mas,geti-geti,gula jawa(gula bali yang direbus),serta minyak wangi dan
bunga-bungaan yang harum,terutama yang berwarna putih dan kuning.Dalam
kepercayaan umat Hindu,Kumara adalah seorang dewa yamg tidak mau mempunyai
keturunan sehinnga tetap sebagai teap menjadi anak-anak,tetap suci dan
lugu,Jika seorang bayi tertawa kecil sendiri,tiu daanggap sedang bermain-main
dengan penjaganya yaitu Kumara.Tentang masalah ari-ari di Indonesia,hal ini termasuk
masalah penting dalam penanganannya.
e.
Upacara
setelah kelahiran bayi
Upacara Bajong Colong atau Ngerorasin adalah upacara pergantian
nama terhadap Catur Sanak, dan mempersiapkan nama baru untuk sang anak
yang dilaksanakan ketika bayi berumur 12 hari.Tujuan dari upacara
ini adalah untuk keselamatan bayi karena terpisah dangan catur sanak dan
memperkuat kedudukan Atman atau roh sang bayi dengan sekaligus membersihkan
badan halus bayi itu dari kotoran yang dibawa dari rahim ibu.Umat Hindu
Indonesia khususnya di Bali,pada saat upacara ini berlangsung dilakukan pula
pemberian nama.Di India,pemberian nama disebut Namakarana.
f.
Tata
cara upacara Bajong Colong
lilin dinyalakan dan
potongan lidi berisi kapas dibasahi oleh minyak yang dsulut api atau di Bali
disebut dengan Linting.Jumlah Linting yang digunakan adalah
jumlah sesuai” urip”kelahiran bayi tersebut.Pada
setiap Linting digantungkan daun rontal atau kertas yang telah
disiapkan nama-nama yang telah disiapkan oleh orangtuanya,hal demikian dilakukan
pada zaman dahulu ,sekarang pemberian ataupun penambahan atau penggantian nama
tidak lagi menggunakan ketentuan ini lagi,sekarang begitu bayi lahir telah
disiapkan namanya.
g.
Upacara
kambuhan
Upacaran ini adalah upacara pembersihan orangtua dan bayinya
terhadap lingkungan luarnya.upacara ini dilakukan ketika bayi beurmur 42
hari.Karena sebelum bayi berumur 42 hari,orang tua terutama ibu dianggap kotor
sehinnga belum diperkenankan masuk ke tempat yang suci.
h.
Upacara
Tigang Sasih
Upacara ini diadakan ketika bayi berumur tiga bulan,di India
upacara ini disebut Niskarmana,yang berarti dalam bahasa inggris adalah first
ounting yaitu membawa bayi keluar untuk pertama kalinya.Di Indonesia,upacara
ini dilaksanakan ketika bayi berumur 105 hari,perhitungan ini terjadi
dikarenakan terhitung satu bulan berumur 35 hari.
i.
Tata
cara upacara Tigang Sasih
Di India dalam upacara ini,di sekitar pekarangan rumah dibuatkan
bentuk segi empat yang di dalamnya disebarkan beras oleh sang ibu bayi
tersebut, Di atas tebaran beras itu dibuatkan gambaran swastika. Dari
tempat itulah sang bayi diajak melihat mentari pagi. Sebelum ditebari
beras,persegi empat itu diolesi seluiruhnya dengan lumpur tanah liat,lalu
sang ayah menggendong bayinya dengan muka bayinya itu diarahkan ke
matahari.Bayi itu dipakaikan pakaian yang layak serta indah kemudian diajak ke
tempat pemujaan rumah itu(sanggar keluarga).Pemujaan di tempat itu diantar oleh
pendeta serta diiringi oleh bunyi-bunyian musik,lalu sang pendeta mengucapkan
mantra weda kehadapan tuhan dengan disaksikan oleh para dewa penjaga kedelapan
penjuru angin serta dewa mataharidewa bulan dan dewa angkasa.Ayah sang bayi
tidak berhenti-hentinya mengucapkan mantra Wisnu-dharmottar.Setelah
upacara ini berakhir,sang bayi diberikan kepada pamannya dari pihak ibu yang
terus memangkunya,serta diberikan hadiah-hadiah .
Lain halnya di Indonesia,upacara ini diadakan rumah tangga sendiri
atau di rumah pendeta tidak di pura(tempat pemujaan umum).Upacara ini dianggap
penting oleh umat Hindu karena hanya dilakukan sekali seumur hidup.
j.
Upacara
weton
Upacara ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,tidak lain tujuan
dari upacara ini adalah memohon kepada tuhan yang maha esa untuk keselamatan
bayi tersebut,tetapi bukan hanya bayi yang dimintai keselamatannya saja tetapi
juga untuk semua hewan dan tumbuhan agar dapat subur dan panjang umurnya.
B.
Perkawinan
dalam agama Hindu
1)
Pengertian
perkawinan
Adalah merupakan ikatan batin antara pria dan wanita yang akan
melaksungkan pernikahan.Pengertian ini juga tertera dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1979,pasal 1,yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan tuhan yang maha esa.
Perkawinan atau vivaha dalam agama Hindu mempunyai ari dan
kedudukan yang khusus di dalam kehidupan manusia yaitu awal jenjang grhstha.Di
dalam kitab Manava Dharmasastra bahwa pernikahan itu bersifat
religius(sakral)dan wajib hukumnya,ini dianggap mulia karena bisa memberi
peluang kepada anak untuk menebus dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma atau
menitis kembali ke dunia.
Syarat-syarat perkawinan
Syarat perkawinan terdiri dari dua faktor,yaitu secara:
Batiniah,yaitu:
1)
pernikahan
yang berdasarkan cinta sama cinta
2)
mempelai
harus agama yang sama
3)
lahiriah
4)
faktor
usia
5)
bibit,bebet,bobot
6)
tidak
terikat oleh suatu perkawinan dengan pihak lain
di dalam masyarakat Hindu,khususnya di Bali, terdapat beberapa cara
yang dapat dilakukan untuk perkawinan yang merupakan bentuk pejabaran dari bentuk
perkawinan yang diungkapkandalam Pustaka Manawa Dharmasastra, diantaranya: mempadik, ngerorod, nyentana,
melegandang.
Mempadik (meminang), bentuk ini adalah bentuk yan dianggap
sebagai paling terhormat .Yang melakukan pinangan ini adalah berasal dari pihak
laki-laki (purusa),yang datang memenuhi pihak perempuan(pradhana) dan telah
mendapatkan persetujua dari kedua pihak.
mempelai memadik memiliki tatanan sebagai berikut :
1.
Pedewasaan (mencari
hari baik)
dari pihak keluarga laki-laki mulai memohon hari
baik(dewasa),biasanya memohon kehadapan sulinggih atau seorang yang sudah
biasa memberikan dewasa(Nibakang Padewasaan).
2.
Penjemputan
calon pengantin wanita
Pada saat
penjemputan ke rumah calon pengantin wanita,dari pihak laki-laki harus diikuti
oleh semua keluarga besarnya beserta unsur-unsur prajuru adat(kelihan
adat).prajuru dinas(kelihan dinas).Demikian juga dari pihak calon pengantin
wanita serta calon pengantinnya.
3.
Ngetok
lawang
Sebelum pelaksanaanm ngetok lawang,sang calon pengantin pria
mengucapkan beberapa pantun,yang akan bersambut-sambutan pantun oleh calon
pengantin wanita.[7]
4.
Cara
meleksanakan Yadya Sesa (sagehan)
Taruh sagehan tersebut di bawah,di atas sagehan diisi
canang,ditancapkan sebuah dupa yang sudah mengandung api,dengan posisi
menghadap ke jalan atau menghadap kedua calon pengantin,lalu mmemercikan
tetabuhan dangan beraturan.Adanya tatanan upacara ini adalah mengandung nilai
spiritual dan nilai etika dan menghasilkan dikaruniai anak yang sempurna.
5.
Upacara
perkawinan.
Tata upacara ini memiliki dua tahapan,yaitu:
Upacara mekala-mekala,yang berarti “menjadikan seperti kala”yaitu
upacara yang dibuat agar identik dengan kekuatan kala(energy yang
timbul),agar kekuatan kala yang bersifat negative bias menjadi kala
hita atau berubah menjadi mutu kedewataan yang disebut”DAIWISAMPAD”
Upacara pekala-kalaan
Ø Ngerorod(merangkat)
Adalah suatu sistem orangtua berdasarkan cinta sama cinta
namun tidak mendapatkan persetujuan dari salah satu pihak orang tua atau kedua
pihak orangtua mereka,tetapi mereka tetap ingin melakukan pernikahan,dengan
jalan melarikan calon pengantin wanita ke calon pengantin pria.Sistem
perkawinan ini tetap dianggap sah,karena telah tertera sejak dahulu.[8]
Tata cara pelaksanaan perkawinan ngerorod ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Ø Pengelukuan(pengandeg)
Setelah dilarikannya pengantin wanita ke rumah calon pengantin
pria,maka dari pihak pria mengutus beberapa sanak keluarganya untuk dating ke
rumah calon pengantin wanita sambil membawa lampu lenterang yang telah
menyala,dengan tujuan untuk memberitahukan kepada pihak orangtua dan calon
pengantin wanita,bahwa anak gadisnya tersebut telah menyatakan kawin dengan
pria itu.Disaat itu pula sang utusan menunjukkan sehelai surat pernyataan dari
si gadis menyatakan diri sudah kawin dengan seorang pria berdasarkan cinta sama
cinta.
Ø Penetes
Yaitu prajuru banjar atau kepala lingkungan(kelihan dinas)bersama
kelihan adat banjar datang ke rumah calon pengantin setelah ada laporan bhwa ada
salah satu warga banjar akan melangsungkan perkawinan.
Ø Tata cara pelaksanaan
Terdapat tiga tatanan dalam pelaksanaan tata cara perkawinan ini
yang tidak lain seperti tata cara memadik,yaitu melalui:
Pelaksanaan upacara mekala-kalan
Upacara mejaya-jaya
Upacara pewarang atau mejauman
Berbicara tentang kelangsungan pelaksanaan upacara di
atas,tergantung dari persetujuan pihak pengantin wanita
Ø Nyentana(nyeburin)
Menurut arti bahasa indonesianya,mungkin sam dengan
perkawinan”ambil anak” yaitu mengawini anak laki-laki untuk masuk menjadi
anggota pihak keluarga wanita dan tinggal pula di sana.Nyentana dikenal pula
dengan sebutan pekidih atau diminta,artinya si laki-laki tersebut
diminta menjadu menantu dan meneruskan keturunan pihak wanita.
Perkawinan ini umumnya dilakukan karena si wanita merupakan anak
semata wayang dan tidak mempunyai saudara pria.Seandaiya ia melakukan
perkawinan secara biasa,maka ia keluar dari keluarganya,sehingga tidak ada lagi
yang meneruskan ketueunan keluarga tersebut
Adalah perkawinan yang didasarkan atas cinta sama cinta antara
kedua pihak.Berdasarkan hukum Hindu di Bali menganut system patrelinial, yaitu
bahwa lak-laki adalah hukum kepurusan.
Ø Tata cara pelaksanaan :
Mengenai tata cara pelaksanaan nyetana ini sama hal nya seperti tta
cara membadik,jika membadik calon pengantin pria yang meminag calon
pengantin wanita,sedangkan pada nyentana ini caon pengantin pria yang di pinang
oleh pengantin wanita serta pelaksanaan perkawinannya pun di laksanakan oleh
keluarga pengantin wanita.
Ø Bentuk-bentuk perkawinan
Di dalam tatanan kehidipan agama Hindu,khususnya di Bali memiliki
beberapa bentuk perkawinan menurut petunjuk dari Manawa Dharmasastra
Sloka 25-34,yang menyebutkan sebagai berikut:

Mendapatkan calon istri yang berdsarkan cinta sama cinta,terlebih
dahulu dihias.

Mendapatkan calon istri yang berdasarkan cinta sama cinta dan
sebelum pelaksanaan pernikahannya dihias oleh pendeta.

Seorang ayah yang mengawinkan anaknya,dengan menerima mas kawin
dari calon pengantin pria berupa dua pasang lembu untuk memenuhi peraturan
dharma.

Mendapatkan calon istri sete;lah mendapatkan restu dari orangtua
pihak wanita berupa ucapan mantra yang berisi doa restu sebagai berikut
:”semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban-kewajiban bersama-sama”.
Setelah itu pengantin wanita memberikan penghormatan
kepada calon suaminya.

Jika pengantin pria menerima seorang perempuan berdasarkan
cinta sama cinta,setelah memberikan mas kawin kepada pengantin wanita
berdasarkan kemampuan serta di dorong oleh keinginan sendiri.

Pertemuan antara laki-laki dan wanita dan timbul
nafsunya untuk melakukan hubungan suami istri tanpa adanya ikatan pernikahan

Melarikan seorang gadis secara paksa dari rumahnya,sanpai
menangis.berteriak-teriak disertai dengah membunuh keluarga dan merusak rumah
gadis tersebut

jika laki-laki mencuri-curi,memperkosa wanita yang sedang
tidur,sedang mabuk atu bingun
Dengan Demikian bentuk perawinan yang masih dilaksanakan oleh umat
Hindu khususnya di Bali adalah dari bentuk perkawinan Brahma
Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha.Pustaka Manawa Dharmasastra
39,menyebutkan sebagai berikut :
BRAHMADISU WIWAHESU
CATURSWEWANUPURWACAH,
BRAHMWARCASWINAH
JAYANTE CISTASAMMATAH.
Maksudnya :
Dari sudut macam perkawinan yang diiuraikan berturut-turut di
mulai dari cara Brahma Wiwaha sampai Prajapati Wiwaha akan lahir putra yang
gemilang di dalam pengetahuan weda dan dimuliakan oleh orang-orang budiman.
DAFTAR PUSTAKA
Sudarsana, Putu. Ajaran Agama Hindu. Denpasar : Mandara Saatra,
2002
Sudharta, Tjok Rai. Manusia Hindu. Denpasar : Yayasan Dharma
Naradha, 1993.
I nyoman Arhtayasa,dkk. Surabaya : Paramitha, 1998
C.
Upacara
Kematian dalam Agama Hindu
Ø Ngaben
Ngaben selalu berkonotasi pemborosan, karena tanpa biaya besar
kerap tak bias ngaben. Dari sini muncul pendapat yang sudah tentu tidak benar-
yaitu : berasal dari kata ngabehin, yang artinya berlebihan. Jadi tanpa
mempunyai dan berlebihan orang tidak akan ngaben. Anggapan keliru ini kemudian
mentradisi dan akibatnya para leluhurnya bertahun-tahun dikubur. Hal
ini sangat bertentangan dengan konsep dasar dari upacara ngaben itu.
Dari beberapa penelusuran lontar di Bali, ngaben ternyata tidak
selalu besar. Ada beberapa jenis ngaben yang justru sangat sederhana antara
lain; MitraYadnya, Pranawa, Swasta. Namun terdapat pula berbagai jenis upacara
ngaben yang tergolong besar seperti Sawa Prateka dan Sawa Wedhana.

Pengertian dasar ngaben secara umum didefinisikan sebagai upacara
pembakaran mayat, kendatipun dari asala-usul etimologi itu kurang tepat. Sebab
ada tradisi ngaben yang tidak melalui pembakaran mayat. Ngaben sesungguhnya
berasal dari kata beya artinya bekal atau biaya. Ngaben atau meyanin dalam
istilah baku lainnya yang disebut dalam lontar adalah atiwa-tiwa, tetapi inipun
belum dapat dicari asal-usulnya. Kemungkinan berasal dari bahasa asli Nusantara
(Austronesia), mengingat upacara jenis ini juga kita jumpai pada suku dayak di
Kalimantan, yang disebut tiwah. Sedangkan pada suku dayak itu disebut “tibal”
dan untuk umat hindu di pegunungan Tengger itu dikenal dengan nama
entas-entas.mkata entas mengingtkan pada upacara pokok dibali yaitu tirtha
pangentas yang berfungsi untuk memutuskan kecintaan sang Atma denga
badan jasmaninya dan mengantarkan Atma ke alam Pitara.
Dalam bahasa lain yang juga berkonotasi halus, ngaben disebut juga
sebagai palebon yag berasal dari kata prathiwi atau tanah, yang menjadikan arti
sebagai “menjadikan pratiwi (abu)”. Tempat untau memproses menjadi tanah
disebut pemasmian (basmi) dan arealnya disebut sebagai tunon (membakar), kata
lain adalah setra (tegal) dan sema “smasana” (durga), dewi durga yang bersthana
di tunon ini.
Ngaben adalah upacara penyempurnaan jasad, mengembalikan
unsur-unsur yang membentuk tubuh manusia ke asalnya yang dalam agama hindu
tubuh manusia itu dibentuk sama dengan alam yang dikenal dengan istilah bhuwana
agung (unsure-unsur jagat raya) dan bhuwana alit (unsure-unsur didalam tubuh)
yang dalam agama hindu disebut panca maha bhuta yakni ; pertiwi, apah, teja,
bayu, dan akasa. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh
roh (sang Atma), maka tubuh itu tak ubahnya segabai benda rongsokan ibarat
sampah, ia harus segera dihanguskan supaya baur dengan alam semesta. Bahkan
dikatakan unsur dalam badan itu bukan saja persis dengan alam, tetapi meminjam
unsur alam yang harus dikembalikan jika sang Atma meninggalkan badan
kasar. Pengembalian pinjaman itu semakin cepa semakin baik, agar
sang Atma yang gentayangan lancar menemukan tempat istirahatnya
terakhir di surga atau mungkin di neraka. Jika mayat hanya dikuburkan ditanah,
proses penghancuran untuk menyatu dengan tanah berlangsung sangat lama,
sementara sang Atma tetap saja berutang dan tentu waswas ketempatnya
istirahat. Itulah sebabnya ada ngaben yang dilakukan oleh ahli warisnya. Ngaben
juga bukan hanya demi sang roh, tetapi ritus inipun menjadi swadharma sang ahli
waris (pretisentana), kewajiban membayar utang. Dalam ajaran hindu bahwa setiap
orang berutang kepada orang tua yang melahirkannya. Yaitu utang kama bang (
hormon laki-laki) dan kama putih (hormon perempuan) yang menyebabkan terjadinya
kelahiran, dengan ngaben utang pada dua kama itu menjadi lunas. Sebelum
melunasi utang (melaksanakan Pitra Yadnya), pretisantana belum berhak
menerima warisan.
Tugas pretisantana adalah sampai melinggihkan dan memujanya
disanggah kamulan. Hal ini berarti bhawa
pelaksanaan Pitra Yadnya leluhurnya terkait dengan hukum
pewarisan, seseorang pretisantana akan kehilangan hak warisnya bila ia ninggal
kedaton dan tidak melaksanakan kewajibannya.
Ada tiga cara yang ditempuh umat dalam melaksanakan ngaben yaitu
nista, madya dan utama. Tingkatan inilah yang kemudian mempengaruhi jalannya
upacara,yang membuat besar kecilnya sesajen yang pada akhirnya menyangkut waktu
yang disita, orang yang dilibatkan, dan biaya yang dikeluarkan. Tingkatan
ngaben ini tidak ada hubungannya dengan kasta tetapi ditentukan oleh keadaan
social ekonomi keluarga yang mempunyai hajat.
Ngaben merupakan salah satu dari lima pengorbanan suci, apa yang
disebut pancaYadnya. Ia tergolong Pitra Yadnya artinya berkorban
untuk para leluhur. Seperti halnya setiapYadnya (pengorbana suci),
seseorang diwajibkan upacaranya sebatas kemampuan dan seberapa jauh sudah
menjadi beban.
Untunglah tak ada agama yang sengaja menurunkan aturan yang membuat
hidup menjadi susah. Ada petunjuk ngaben secara hemat yang dimuat dalam lontar
Yama purwana tatwa dalam seberapa sajen yang perlu dibuat sampai memenuhi
kebutuhan minimum, sehingga tidak memakan biaya besar.
Ada beberapa jenis ngaben dalam pelaksanaannya ;

Sebagaimana telah disebutkan tadi, Pitra “leluhur” dan Yadnya “korban
suci”. Istilah ini dipakai untuk menyebutkan jenis ngaben yang dilontarkan
dalam Yama purwana tattwa tadi.
Pitra Yadnya wajib hukumnya
Berkorban pada leluhur bapak, ibu kakek buyut dan lain-lain yang
merupakan garis lurus keatas, yang menurunkan kita. Jenis upacara yang
tergolong Pitra Yadnya itu
- Pemeliharaan
ketika masih hidup
Berupa memelihara kesehatan jasmaninya dan menjamin ketenangan
serta memuaskan batinnya, yang dapat ditempuh dengan berbagai macam
cara yang salah satunya dengan mengindahkan nasihat dan selalu memohon restu
untuk segala tindakan yang akan diambil.
- Penyelenggaraan
upacara setelah kematian
Penyelengaraan upacara untuk jenazahnya dengan proses
penyucian Atma untuk dapat kembali pada asalnya seperti halnya ;
- Membersihkan
sawanya (mresihin)
- Mendem
atau ngurug semetara karena suatu hal belum bias diaben
- Ngaben/atiwa-tiwa
- Mroras/
mamakur
Upacara-upacara tersebut dinamakan sawa wedhana “penyelengaraan
upacara terhadap sawanya yang pokok. Sedangkan upacara mroras adala upacara
penyucian rohnya “ Atmawedhana”. Atma yang telah disucikan di
sebut DewaPitra “Pitra yang telah mencapa tingkatan Dewa
“SiddhaDewata” dan upacara mroras ini sudah tak lagi tergolong Pitra Yadnya,
melainkan sudah masuk pada Dewa Yadnya. Upacara ini adalah ngalinggihan
atau nuntun Dewa Hyang, kemudian setelah Dewa Hyang malinggih, setiap enam
bulan sekali diadakan upacara ngodalin.
Tujuan dan maksud yang menjadi landasan upacara ngaben terumuskan
pada proses kembalinya Panca Maha Bhuta di alam besar ini dan mengantarkan Atma
ke alam dengan memutuskannya dari keterkaitannya dengan ragha sarira yang
diwujudkan dengan upacara ngentas sawa dan turtha pangentas.

Aksara om kara, nama jenis ngaben yang mempergunakan huruf suci
sebagai symbol sawa.

Swasta artinya lenyap atau hilang, adalah jenis ngaben yang sawanya
tidak ada (tasn kneng hinulatan)

Jenis ngaben untuk sawa yang baru meninggal belum sempat diberikan
upacara penguburan

Jenis ngaben yag dilakukan untuk sawa yang telah mendapatkan
upacara penguburan (ngurug)

Upacara bagi tulang yang sawanya telah dibakar.
Arti simbolik upakara
1. Sarana + bebantenan
Dalam upacara pengabenan sederhana juga diperlukan sarana upakara,
tetapi tidak begitu banyak sarana upakara dapat berbentuk banten karena sarana
upakara yang berfungsi sebagaipembersihan.
2. Sarana upakara
- Awak-awakan
Pengganti badan (sarira) dan sang mati yang dibuat khusus untuk
mependhem.
- Tirtha
Tirtha pembersihan
“tirtha yang dibuat oleh pandita untuk membersihkan Sawa yang
diabenkan atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika mresihin
sawa atau awak-awakan sawa
Tirtha panglukatan
“ dibuat juga oleh pandita untuk melukat sawa yang akan diaben,
dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan”.
Tirtha pamanah
“Dibuat oleh pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya.
Tirtha pangentas”.
“Merupakan unsure pokok dan penentu dari upacara pengabenan dan
bagi orang yang mati yang dipendhempun harus memakai tirtha pangentas
mependhem”.
- Papaga
Bale dimana sawa dibersihkan, yang diikat dengan kawat pancadatu
yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi. Papaga ini berfungsi sebagai
tumpang salu, dan pelinggihan pitra ketika disamskara.
- Jempana
Bentuknya seperti kursi yang berfungsu sebagai usngan hasti yang
telah direka, serta sekah segabai bagian dari badan yang telah dibakar,
kemudian untuk dilarung kelaut atau sungai.
- Bale
pangastryan
Bale yang dibuat dari bambu gadhing bertiang empat beratapkan
ilalang, sebagai tempat upacara Hasti wedhana, ngyuyeg galih, ngreka galih dan
lainnya.
- Tatukon
pengiriman
Merupakan kelengkapan badan manusia , baan sang mati yang
dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia.
- Ganjaran
serta penyertanya
Kulambi pinaka kulit, wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong
sebagai lutut, gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih,
ilih sebagai nafas, kotak mata isi, tiga sampir sebagai wat gagending dan table
sebagai kepala yang kesemuaannya harus terdapat dalam upacara ngaben sederhana
dalam melengkapi ganjaran dan pengikutnya.
- Kajang
Kain putih yang ditulisi dengan sad dasaksara. Bentuk dan bacakan
kajang sesuai dengan panugrahan kawitan yang dimuat dalam prasasti
masing-masing yang berfungsi sebagai selimut sekaligus melambangkan kulit
tubuhnya.
- Karab
sinom
Kerudung bunga yang dibuat dari ulatan daun rontal, yang gunanya
sebagai kerudung.
- Angkep
rai
Kain putih yang beraksara yang dipakai tuk menutupi muka sawa.
- Pagulungan
Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa) yang bertuliskan Padma
dengan aksara walung Kapala (aksara kulit manusia)
- Lante
Dibuat dari sebitan penjalinan atau rotan yang digulungkan dengan
tali ketikung (perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu) yang dibuat dari
penjalin atau bambu.
- Selepa
Jenis peti mati tahap pertama, biasanya dibuat dari pohon enau
dimana pada pusarnya dibuatkan peloncor (tempat pembuangan air-air pembusukan
sawa) yang masuk kedalam tanah.
- Bandusa
Peti mati tahap kedua tempat sawa yang akan dinaikkan ke tumpang
salu, guna memdapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, kuanapa bhinaseka,
tarpana dan lain-lain. Berbentuk cardik halus dan bertuliskan aksara kalepasan.
- Tumpang
salu
Tempat dimana sawa yang ada dalam peti bandusa mendapatkan
samskara(penyucian) atau kunapa bhinesaka oleh pendeta.
- Tatindih
Kain sutra putih Penutup bandusa yang dikerudungkan pada sawa.
- Wukur
Terbuat dari lepeng menyerupai deling, balung, yang diletakkan pada
dada sawa berfungsi sebagai tempat tidurnya roh.
- Sawa
karsian
Bagi sawa yang telah dipendhem
- Pangrekan
Kumpulan kwangen sebagai symbol padma
- Adegan
(pisang jati)
Perwujudan dari orang matai
- Angenan
Symbol jantung manusia
- Sok
bekal
Bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya
- Lis
pering
Sepasang ring yang dibuat dari ron jaka symbol dari bumi dengan
isinya diletakkan pada kaki sawa.
- Kesi-kesi
/ jemek
Symbol dari atma (preta) diletakkan pada hulu tempat sawa. Di
sertai dengan kulambi, mameri, geganjar, sangku, kipas, wangsul, tatopong,
kotaktabla, canang, tigasan dan tiga sampir.
- Iber-iber
Berupa ayam atau burung diterbangkan ketika sawamulai dibakar
sebagai symbol perginya atma
- Tah
mabakang-bakang
Sabit yang berfungsi tuk merabas apa yang merintangi kepergian
atma.
- Gender
Gamelan yang memakai laras selendra yang merupakan tanguran tuk
mengiringi kepergian atma
- Penuntun
Terdiri dari tulup yang berfungsi menuntun sang atma
- Sanggah
cucuk dan dammar kurung
Jenis sanggah yang dipakai sebagai persembahan pada buthakala dalam
upakara bebantenan
- Kaki
patuk dan dadong sempret
Deling atau purusa pradan sebagai simbolik kama petaka dan kama
bang
- Tragtag
Wadah semacam tangga untuk menaikkan sawa
- Ubes-ubes
Papecut yang menggunakan bulu merak berfungsi mengarahkan jalannya
roh dalam perjalanan
- Pemanjangan
- Sekarura
Bunga kwangen bercampur uang kepeng yang ditaburkan sepanjang jalan.
- Cegceg
Beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng dilatakkan di pinggir
jalan yang berfungsi sebagai oleh-oleh atma.
- Bale
gumi
Tempat sawa dibakar yang berundag tiga dengan tanah sebagai
lantainya
Ø Upacara
Prosesi tata pelaksanaan upacara ngaben dengan dua proses yaitu
sawa prateka dan sawa wedhana. Adapun tahap-tahapnya parteka ;
Pabersihan dengan memandikan, kemudian eteh-eteh, persembahan,
narapana,matetangi, samskara atau munggah beya (mlaspas peralatan, kabeji tuk
mengambil toya, memanah toya, membersihkan lingkungan, mohon upasaksi, ngaskara
adegan, pitra puja, dan mapamit/ sembah), memberikan sekul liwet, upacara
kabeji atau narapana, pemasmian atau pembakaran sawa.
Ø Dewasa ngaben
Pada hakekatnya saat yang baik (dewasa) adalah merupakan repleksi
dari adanya pengaruh bhuana agung terhadap alam dan kehidupan manusia yang
betul-betul diperhatikan oleh setiap umat hindu dalam melakukan suatu usaha
terutama dalam upacara yajna (ngaben salah satunya). Pergerakan matahari dari
timur ke selatan yang menjadi patokan pesasihan, ada tiga saat dalam
pembagiannya;
Ø Angutarayana
Matahari bergerak dari tengah-tengah bulatan bumi, pada saat ini bali
menunjukkan sasih ka dasa, dyestha, asada, ka sa, ka rod an ka tiga yang
umumnya baik tuk mitra yadnya karena terbukanya pintu alam visnu
Ø Indrayana
Saat matahari berada di tengah-tengah bulatan bumi ketika dating
dari utara yang menunjukan sasih kapat (terbukanya semua alam dewa saat
yang baik tuk dewa yadnya) dan ketika matahari dating dari selatan yang
menunjukan sasih ka wulu (baik tuk butha yadnya).
Ø Daksiyana
Saat-saat matahari ada dibulatan selatan bumi yang menunjukan sasih
ka lima (baik tuk melakukan dewa dan manusa yadnya sebab terbuka alam dewa dan
bhatara), ka enam dan ka pitu (baik tuk butha yadnya) tuk pitra yadnya dan
manusa madya).

Ngaben yang sarat diselenggarakan dengan semarak, yang penuh sarat
dan perlengkapan upacara upakara dan memerlukan dukungan dana dan waktu yang
cukup untuk mempersiapkan segala sesuatunya dan penggarap yang besar tentunya.
Untuk tercapai tujuannya pretisantana berusaha menggunakan sarana bebantenan
dan upacara lainnya dengan semaksimal mungkin untuk pula membuktikan ketulusan
bhaktinya dengan mempersembahkan suatu yang megah dan agung dan disamping itu
factor pristise dan harga diri juga harus menjadi pertaruhan bagi sang
pretisantana sebagai wujud bhaktinya.

Masa lalu
Sebelum masa kemerdekaan, umat hindu kondisinya sangat lemah
sebagai masyarakat agraris mereka juga berpenghasilan rendah, pemehaman
terhadap agama hindu sangatlah rendah dan masih tabu tuk dipelajari.
Motto away wera di salah artikan menjadi identik dengan dana yang
sangat besar dan tak mengenal ada bentuk ngaben yang sederhana. Maka mereka
harang sekali ngaben kalaupun ada hanyalah kaum Mekel, keluarga puri, atau
golongan Geria. Sewaktu-waktu mereka ikut dan berinisiatif tuk secara kolektif
(ngagalung) yang disponsori oleh banjar (suatu lembaga adat).
Masa sekarang
Telah merasuknya masa transisi pada industrialism, maka
sangatlah mudah kita temukan umat hindu yang ngaben secara sederhana maupun
sarat. Kendatipun masyarakat mengalami pergeseran tata nilai, namun akibat
bertambahnya pendapatan umat dan tambah pemahaman yang semakin meluas, maka
pengabenanpun rutin terlaksana.
Masa datang
Masa era industrialisasi khususnya dalam bidang pariwisata. Maka
pertambahan pendapatan dan pemahaman dalam ajaran umat hindu semakin meningkat,
dan pada akihrnya umat tidak segan lagi tuk melakukan upacara yajna untuk jenis
apapun dan sesuai dengan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Landasan filosofis
Telah banyak diuraikan pengertian tentang ngaben ini, namun pada
landasan pokoknya adalah lima kerangka agama yang disebut sebagai panca sradha
antara lain :
Ketuhanan Brahman
Brahman merupakan asal mula terciptanya alam semesta beserta isinya
dan merupakan tujuan akhirnya semua yang tercipta.
Atman
Keyakinan pada atma yang ada pada masing-masing badan manusia dan
merupakan serpihan kecil na suci dari Brahman. maka setelah tiba waktu
kembalinya ia harus disucikan pula dengan upacara.
Karma
Manusia hidup tidak lepas dari kerja, atas dorongan sukma sarira
(budi, manah, indra dan aharalagawa) yang pada setiapnya akan berpahala. Kerja
yang baik (subha karma) akan berpahala baik pula dan sebaliknya asubha karma
akan menerima timpaan yang buruk pula. Dan pahala ini yang akan menjadi beban
atma.
Samsara
Penderitaan yang dirasakan sang atma, maka haruslah melaksanakan
upacara untuk melepaskan atma dari samsara ketika kembali pada asalnya.
Moksa
Kebahagiaan abadi yangmenjadi tumpuan harapan semua manusia yang
menjadi tujuan utama umat hindu.
Daftar Pustaka
Drs. Wikarman, I nyoman Singgin, Ngaben . Surabaya:
Paramita. 2002
Kaler , I Gusti Ketut, Ngaben. Yayasan Dharma
Naradha 1993
Ali , I Nyoman Gustav, Menggugah Bali .
Upacara kelahiran, Perkawinan dan
kematian dalam agama Budha
RESUME
KELOMPOK 5
Ismail Sholeh : 1113032100040
Sukmaya: 1113032100043
Wahid muhammad : 1113032100068
Dalam Buddhisme Theravada, ada praktek ritual tertentu diamati ketika
seorang anak lahir dari orangtua Buddhis.Ketika bayi cocok untuk dibawa keluar
dari pintu, orang tua memilih hari baik atau bulan purnama hari dan bawa anak
ke candi terdekat. Mereka pertama kali menempatkan anak di lantai ruang
kuil atau di depan patung Buddha untuk menerima berkat-berkat dari Tiga Permata
(Buddha, sangha dan dharma). Ini adalah
pemandangan umum di Maligawa Dalada, Kuil Gigi Relic Suci, di Kandy.
Pada saat upacara keagamaan setiap hari (Puja) candi, ibu
menyerahkan bayi mereka ke awam wasit (kapuva) di dalam
ruangan kuil, yang pada gilirannya membuat untuk beberapa detik di lantai dekat
ruang relik dan tangan kembali ke ibu. Sang ibu menerima anak dan
memberikan biaya yang kecil ke kapuva untuk layanan yang
diberikan.
Lahir Setelah kelahiran anak, orang
tua sering berkonsultasi biarawan ketika memilih nama, yang harus memuaskan,
sementara bahasa menyampaikan suatu arti yang baik.. Tergantung pada daerah,
praktek-praktek agama lain mungkin mengikuti kelahiran. Di bagian tengah negara itu,
misalnya, bayi akan memiliki lazim kepalanya dicukur ketika ia berusia satu
bulan. Hal ini pada dasarnya ritus Brahminic, yang disebut upacara khwan,
dapat disertai dengan upacara Budha di mana rahib membacakan ayat-ayat dari
teks-teks suci.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Pentahbisan. Ritus kedua dalam rentang kehidupan manusia kebanyakan Thailand penahbisan ke dalam kap biksu. Secara tradisional, seorang pemuda yang tidak diterima secara sosial sampai ia telah menjadi seorang biarawan, dan banyak orangtua bersikeras bahwa setelah seorang anak mencapai usia dua puluh ia akan ditahbiskan sebelum menikah atau memulai karir resmi. Ada juga alasan lain untuk memasuki kap biksu, seperti untuk membuat manfaat untuk jiwa berangkat dari kerabat, atau untuk orang tuanya ketika mereka masih hidup, atau untuk membayar janji kepada Sang Buddha setelah meminta dia untuk memecahkan masalah pribadi atau keluarga .
Pentahbisan terjadi sepanjang bulan Juli, sebelum retret tiga-bulan selama musim hujan. Kepala orang itu adalah dicukur dan dia mengenakan jubah putih untuk hari sebelum ia resmi ditahbiskan, ada nyanyian dan perayaan dan, di daerah pedesaan, seluruh masyarakat dan dengan demikian bergabung dalam merit keuntungan. Pada hari upacara, biarawan calon diambil sekitar candi tiga kali dan kemudian ke ruang konvensi, di mana semua biksu menunggunya. Setelah sebelumnya telah terlatih, ia mengalami penyelidikan oleh seorang pendeta senior di depan gambar Buddha, dan jika ia memenuhi semua kondisi untuk menjadi seorang bhikkhu, jemaat menerima dirinya. Dia kemudian diinstruksikan pada kewajibannya, jubah don kunyit, dan mengaku sebagai biksu. Selama tiga bulan berikutnya musim hujan ia diharapkan untuk tinggal di wat itu, mencontohkan ideal Buddhis dalam kehidupan dan menjalani pelatihan ketat di tubuh dan mengendalikan pikiran, setelah itu ia dapat, jika ia memilih, kembali menjadi orang awam.
Menurut "Upacara Ritual Buddhis
dan Sri Lanka," dengan pengecualian penahbisan dengan kehidupan monastik
dan ritus pemakaman, hidup peristiwa siklus dianggap sebagai urusan sekuler
untuk sebagian sejarah Buddhisme. Tidak seperti di agama
besar dunia lainnya, tidak ada Buddha kuno penamaan bayi-upacara ada. Dalam masa yang lebih baru,
ritual Buddhis telah dicampur dengan orang-orang dari agama-agama dunia dan
budaya lain. Di banyak negara bahwa praktek Buddhisme
Theravada, pengaruh luar telah mengilhami pengembangan Buddha penamaan
bayi-ritual.
B.
Perkawinan dan upacara perkawinan
Perkawinan adalah
perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami isteri. Di dalam Tipitaka
tidak banyak ditemukan uraian-uraian yang mengatur masalah perkawinan, akan
tetapi dari berbagai sutta dapat diperoleh hal-hal yang sangat penting bagi
suami dan isteri untuk membentuk perkawinan yang bahagia.
Azas perkawinan
“Sebagai warga negara
Indonesia yang mempunyai kewajiban hukum mentaati ketentuan dan peraturan hukum
Negara yang berlaku, termasuk juga mengenai perkawinan, maka di dalam melaksanakan
perkawinan dan dengan segala akibatnya menurut hukum, haruslah mentaati
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No 1
Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Izin Perkawinan
dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil”.
Di dalam Undang-undang
Perkawinan yang berlaku tersebut, ditentukan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Terdapat
perkecualian bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan alasan-alasan yang ditentukan secara limitatif yaitu
apabila isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, apabila
isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan
apabila isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Di dalam pasal 10 ayat
4 dari Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 ditentukan bahwa : Izin untuk
beristeri lebih dari satu tidak diberikan oleh pejabat apabila : a.
Bertentangan dengan ajaran/ peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan.
Walaupun ketentuan ini
ditujukan kepada Pegawai Negeri sipil, tetapi azas ketentuan bahwa izin tidak
diberikan apabila bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh
pemohon izin, adalah berlaku juga terhadap bukan Pegawai Negeri Sipil yang
memohon izin kepada Pengadilan Negeri sebagai suatu ketentuan yang mengikat dan
untuk ketertiban umum serta kepastian hukum.
Walaupun di dalam agama
Buddha tidak ditentukan secara tegas azas monogami yang dianut, tetapi dengan
berdasar kepada Anguttara Nikaya 11.57 seperti dikutip di atas, yaitu
pernikahan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah perkavvinan antara seorang
laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang perempuan yang baik (dewi),
maka dapat disimpulkan bahwa azas perkawinan menurut agama Buddha adalah azas
monogami, yaitu dalam suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai
seorang isteri dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami.
Perlu dipertimbangkan,
bahwa seorang laki-laki yang belum mencapai tingkat-tingkat kesucian akan dapat
melakukan hal-hal yang kurang adil atau kurang bijaksana, apalagi setelah ia
mempunyai isteri lebih dari satu, yang berakibat akan menyakiti hati isteri
atau isteri-isterinya tersebut. Akan tetapi apabila ada seorang laki-laki yang
telah beristeri lebih dari satu sebelum beragama Buddha, maka setelah beralih
menjadi umat Buddha, mungkin ia tidak perlu menceraikan isteri atau
isteri-isterinya; yang penting adalah agar ia berusaha sungguh-sungguh untuk
menjadi suami yang baik bagi isteri-isterinya.
UPACARA PERKAWINAN
I. PERSIAPAN UPACARA
A. Agar dapat
dilaksanakan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha maka calon
mempelai harus menghubungi pandita agama Buddha dari majelis agama Buddha
(misalnya Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia) yang mempunyai kewenangan
untuk memimpin upacara perkawinan (bukan seorang bhikkhu atau samanera).
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
Caranya adalah dengan mengisi formulir yang telah tersedia, serta dengan melampirkan :
- Dua lembar fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan kedua calon mempelai.
- Dua lembar fotokopi Akta Kelahiran atau Akta Kenal Lahir dari kedua calon mempelai.
- Dua lembar Surat Keterangan dari Lurah setempat tentang status tidak kawin dari kedua calon mempelai (perjaka/duda/gadis/janda)
- Surat izin untuk calon mempelai yang berumur dibawah 21 tahun.
- Tiga lembar pasfoto berdua ukuran 4 X 6 cm2
B. Setelah semua syarat
dipenuhi dan surat-surat telah diperiksa keabsahannya, maka pengumuman tentang
perkawinan tersebut harus ditempel di papan pengumuman selama 10 hari kerja.
C. Dalam hal perkawinan
dilangsungkan kurang dari 10 hari kerja, diperlukan Surat Dispensasi Kawin yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah setempat (Tingkat Kecamatan).
II PELAKSANAAN UPACARA
A. TEMPAT UPACARA
Upacara perkawinan
menurut tatacara agama Buddha dapat dilangsungkan di vihara,
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
cetiya atau di rumah salah satu mempelai yang memenuhi syarat untuk pelaksanaan
upacara perkawinan.
B. PERLENGKAPAN ATAU
PERALATAN UPACARA
Persiapan peralatan
upacara :
- Altar dimana terdapat Buddharupang.
- Lilin lima warna (biru, kuning, merah, putih, jingga)
- Tempat dupa
- Dupa wangi 9 batang
- Gelas/mangkuk kecil berisi air putih dengan bunga (untuk dipercikkan)
- Dua vas bunga dan dua piring buah-buahan untuk dipersembahkan oleh kedua mempelai
- Cincin kawin
- Kain kuning berukuran 90 X 125 cm2
- Pita kuning sepanjang 100 cm
- Tempat duduk (bantal) untuk pandita, kedua mempelai, dan bhikkhu (apabila hadir)
- Surat ikrar perkawinan
- Persembahan dana untuk bhikkhu (apabila hadir), dapat berupa bunga, lilin, dupa dan lain-lain.
C. PELAKSANAAN UPACARA
PERKAWINAN
- Pandita dan pembantu pandita sudah siap di tempat upacara.
- Kedua mempelai memasuki ruangan upacara dan berdiri di depan altar.
- Pandita menanyakan kepada kedua mempelai, apakah ada ancaman atau paksaan yang mengharuskan mereka melakukan upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha, apabila tidak ada maka acara dapat dilanjutkan.
- Penyalaan lilin lima warna oleh pandita dan orang tua dari kedua mempelai.
- Persembahan bunga dan buah oleh kedua mempelai.
- Pandita mempersembahkan tiga batang dupa dan memimpin namaskara *)
- Pernyataan ikrar perkawinan**)
- Pemasangan cincin kawin.
- Pengikatan pita kuning dan pemakaian kain kuning.
- Pemercikan air pemberkahan oleh orang tua dari kedua mempelai dan pandita.
- Pembukaan pita kuning dan kain kuning.
- Wejangan oleh pandita.
- Penandatanganan Surat lkrar Perkawinan.
- Namaskara penutup dipimpin oleh pandita.
*)
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
Pandita pemimpin upacara mengucapkan Namakkara Gatha diikuti oleh hadirin kalimat demi kalimat :
ARAHAM SAMMASAMBUDDHO
BHAGAVA
[A-ra-hang
Sam-maa-sam-bud-dho bha-ga-waa]
BUDDHAM BHAGAVANTAM
ABHIVADEMI
[Bud-dhang
Bha-ga-wan-tang Abhi-waa-de-mi)
(Sang Bhagava, Yang
Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna;
aku bersujud di hadapan
Sang Buddha, Sang Bhagava)
SVAKKHATO BHAGAVATA
DHAMMO
[Swaak-khaa-to
Bha-ga-wa-taa Dham-mo]
DHAMMAM NAMASSAMI
[Dham-mang
Na-mas-saa-mi]
(Dhamma telah sempurna
dibabarkan oleh Sang Bhagava;
aku bersujud di hadapan
Dhamma)
SUPATIPANNO BHAGAVATO
SAVAKASANGHO
[Su-pa-ti-pan-no
Bha-ga-va-to Saa-wa-ka-sang-gho]
SANGHAM NAMAMI
[Sang-ghang na-maa-mi]
(Sangha, siswa Sang
Bhagava telah bertindak sempurna,
aku bersujud di hadapan
Sangha)
**)
Sebelum menyatakan
ikrar perkawinan kedua mempelai mengucapkan Vandana :
NAMO TASSA BHAGAVATO
ARAHATO
SAMMA SAMBUDDHASSA
[Na-mo Tas-sa
Bha-ga-wa-to A-ra-ha-to
Sam-maa-sam-bud-dhas-sa]
(tiga kali) (Terpujilah
Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah mencapai Penerangan Sempurna)
Catatan :
Menurut UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Bab I Pasal 2 maka perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan
tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Peraturan
Pemerintah R.I. Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab III pasal 3 maka perkawinan (menurut tatacara
agama Buddha) dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua
orang saksi (yang dimaksud dengan Pegawai Pencatat adalah pegawai pencatat
perkawinan dan perceraian atau pegawai catatan sipil).
Apabila upacara
perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat, maka Pegawai Pencatat dapat
diwakili oleh Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan (Buddhis) yang diangkat oleh
Gubernur setempat.
Apabila upacara
perkawinan tidak dihadiri oleh Pegawai Pencatat maupun Pembantu Pegawai
Pencatat Perkawinan (Buddhis), maka pandita yang memimpin upacara perkawinan
mengeluarkan Surat Keterangan Perkawinan yang berlaku sebagai bukti bahwa
upacara perkawinan menurut tatacara agama Buddha telah dilaksanakan, surat
tersebut bersama-sama dengan dokumen pendukung linnya dibawa ke Kantor Catatan
Sipil untuk dicatatkan.
UPACARA KEMTIAN DLAM AGAMA BUDHA
1.
Upacara
Upacara adalah rangkain
tindakan terorganisir dengan tatanan atau aturan tertentu yang mengedepankan
berbagai tanda atau symbol –simbol kebesaran dan menggunakan cara-cara yang
ekspresif dari hubungan social, terkait dengan suatu tujuan atau peristiwa yang
penting. Kita mengenal bermacam-macam Upacara, seperti upacara kenegaraan
termasuk upacara militer dan upacara bendera,upacara adat dan agama.[1]
Upacara dan ritual
merupakan suatu ornament atau dekorasi untuk memperindah suatu agama guna
menarik masyarakat.[2]
2.
Kematian dalam agama Budha
Bila kematian tiba,
Taj ada yang kubawa
serta,
Harta, kemewahan bukan
lagi milikku,
Kedudukan, nama dan
kekuasaan,
Semua telah sirnah.
Siapa mengiringi
perjalananku ?
Lenyap sudah tali
ikatan
Teman, sahabat,
keluarga tercinta,
Hanya tinggal kenangan
……
Kini ku teringat,
48 janji besar
Amithabha Buddha’
Tekad mulia menolong
semua makhluk,
Bebas dari derita,
Untuk lahir dari surga
sukhavati,
Kepada-Nya aku
berlindung,
Sepenuh hati ku berseru
:
Namo AmithabhaBuddha. (berulang-ulang)[3]
Agama Buddha
mengajarkan, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah
satu fase peralihan antara hidup yang sekarang dengan kehidupan dialam tumimbal
lahir yang baru.
Bagi mereka yang
sewaktu msih hidup rajin berlatih membina diri, menghayati dan melaksanakan
ajaran Hyang Buddha. Maka dia akan mengetahui kapan saat ajalnya tiba, bahkan
ada yang mengetahui jauh sebelum waktunya, bisa beberapa : tahun; bulan;
minggu; atau 1-2 hari sebelumnya tergantung dari ketakutan dan
kemantapannya di dalam menghayati Buddhi Darma. Sehingga menjelang
saatnya tiba, dia dapat melakukan persiapan seperlunya, yaitu membersihkan diri
dan menukar pakaian, lalu bermeditasi sambil menyebut Namo Amhitabha Buddha.
Menurut agama
buddhapun,Hidup tidak hanya sekali . adanya silkus lahir dan mati,bagaikan
siang dan malam. Kematian bukanlah akhir, karna seketika itu pula berlanjut
pada kelahiran kembali. Melalui lahir dan mati dari alam yang satu kea lam yang
lain, ataupun kembali kea lam yang sama, para mahluk menjalani lingkaran
tumimbal lahir. Buddha mengatakan,”sesuai dengan karmanya mereka akan
bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat
dari perbuatannya sendiri. Karna itu aku menyatakan: semua makhluk adalah
ahliwaris dalam perbuatannya sendiri” (A.V, 291).
Karma juga membagi para
makhluk menjadi berbeda, yang dikatakan sebagai hina dan mulia. Doktrin karma
menjelaskan kenapa ada manusia yang pendek usia, ada yang panjang usia; yang
sering sakit dan jarang sakit; yang buruk rupa dan cantik rupawan; yang sedikit
rezeki dan banyak rezeki; yang miskin dan kaya raya; yang memiliki keluarga
kecil dan keluarga besar ; yang dungu dan pandai bijaksana (M. III, 202-203).
Ketika ada yang terlahir catat, karma juga alasannya. Ada daya tarik si
anak dengan karma orang tuanya. Adanya karma individual dan adanya karma
kolektif.
Sedangakan gagasan
penganut Buddha tradisional tentang kematian didasarkan pada doktrin india kuno
yaitu samsara, dan secara beragam diterjemaahkan sebagai renkarnasi atau
transmigrasi- dari waktu kehidupan menjadi kehidupan yang lain.[4]
A.
Proses penghancuran Badan jasmani dan Rohani.
Terurainya 4 Element
besar dimulai dari unsur tanah, unsure tanah akan turun ke unsure air, yang
menyebabkan badan terasa sesak, seakan-akan menanggung beban yang sangat bera,
seluruh otot terasa kaku dank ram, pada saat ini dianjurkan agar sanak sodara
jangan menyentuh atau memijatnya, karna akan menambah penderitaan jasmaninya.
Setelah itu unsure air akan turun ke unsure api, yang menyebabkan seluruh tubuh
bagaikan diselimut oleh hawa dingin yang amat sangat, beku sakit bukan
kepalang. Dan dilanjut dengan turunnya unsure api ke unsure angin, rasa sakit
bertambah hebat, seluruh badan terasa panas bagaikan terbakar. Element terakhir
yang terulang adalah unsure angin, badan rasanya seperti ditutup oleh angin
kencang, tercerrai berai dan hancur lebur. Saat ini 4 element besar telah
berpisah, badan jasmani tak dapat dipertahankan lagi,inilah yang disebut mati
dalam ilmu kedokteran. Tetapi menurut teoori Buddhis, indra ke 8
(alajnavijnana) dari orang tersebut belum pergi, kananya blom boleh disentuh,
dia masih dapat merasa sakit, bahkan ada yang bisa mengeluarkan air mata,
walaupun secara medis sudah dinyatakan mati.
B.
49 Hari perjalanan Badan medio (ALAJNAVIJNANA)
Setelah seluruh 4
element besar terurai maka indra ke 8 pun (alajnavijnana) mulai meninggalkan
badan jasmani, masa ini disebut masa medio (pralihan). Alajnavijnana yang
sudah telepas dari badan jasmani disebut juga dengan istilah ‘badan medio’.
Jangka waktu sebulum
badan medio tumimbal-lahir kea lam yang lain adalah selama 49 hari (7 X 7 hari
). Menurut aliran Sukhavati dihitung sejak saat dia meninggal hingga hari ke
49. Sedangkan menurut aliran Tantrayana, setelah terlepas dari badan jasmani,
badan medio akan pingsan dan baru sadar 3,5 – 4 hari sesudah hari kematiannya.
Kondisi umun badan
Mediao :
Pada mulanya badan
medio belum menyadari bahwa dirinya telah meninggal dunia, seandainya kita
dapat melihat keberadaannya, akan tetlihat terang dan lincah. Dia merasa semua
indranya lengkap : mata, telinga; hidung; lidah, badan dan pikirannya bekerja
sangat baik. Orang yang semasa hidupnya buta dapat melihat kembali, yang bisu
dapat bicara, yang tuli dapat mendengar, badannyapun dapat melang-lang buana,
bebas tiada yang merintangi.
Jika pada waktu itu ada
sanak kaluarganya yang mangadakan upacara kematian dan memanggil namanya, maka
dia akan mendekati jenazah dan menjadi sadar bahwa dia telah tiada.
Jika pada saat kematian keluarrga almarhum mengadakan upacara kematian dengan
menyajikan sajian hasil pembunuhan hewan,misalnya : babi, ayam, ikan dan
sebagainya, hal itu bukannya menolong, justru semakin menambah penderitaan
badan medio, bagaikan mendorong badan medio masuk ke 3 alam sengsara (binatang,
preta, dan neraka),sebab hawa amarah dari binatang yang matipenasaran trsebut
akan dapat menggangu perjalannan badan medio, sehingga badan medio merasa
jengkel, kesal dan marah. Kondisi yang buruk ini tidak menunjang
badan medio agar tumimbal lahir dialam yang lebih baik, tetapi justru
menjerumuskannya kea lam yang rendah.
Kontak rasa badan medio
pada 14 hari pertama:
Apabila semasa hidupnya badan medio tidak pernah berjumpa/berjodoh dan tidak
mengerti budha darma, pertolongan dari pihak keluarga tidak ada, maka bbadan medio
hanya mengandalkan karmanya sendiri dalam perjalannan kematiannya.
Mula-mula badan medio akan berkontak rasa dengan 6 cahaya yng muncul
sebagai akibat dari karmannya sendiri. Jika karmanya berkontrakk rasa dengan
alam:
Dewa, akkan tampak sinar putih redup
Manusia, akan tampak
sinar kuning redup
Asura, akan tampak
sinar hijau redup
Binatang, akan tampak
sinar biru redup
Preta,(setan
gentayangan), tampak sinar merah redup
Neraka, akan tampak
asap berkabut hitam.
Pada umumnya, tanda
berkontak rasa dengan dunia baik, sesaat setelah meninggal dunia, satengah
badan kebawah akan dingin lebih dahulu, sedangkan jika berkontak rasa
dengan dunia buruk, setengah badan ke atas yang akan menjadi dingin terlebih
dahulu . acarnya parampara (sesepuh) mengatakan : jika bagian wajah yang
terakhir menjadidingin akan tumimbal lahir di alam dewa, jika bagian
tenggorokan yang terakhir dingin akan tumimbal lahir di alam asura, jika hati
yang terakhir dingin akan kembali lahir sebagai manusia, jika yang terakhir
dingin adalah bagian bawah perut akan menjadi setan gentayanan, jika
dengkul yang terakhir dingin akan menjadi binatang dan jika yang terakhir
dingin telapak kaki maka akan masuk kea lam neraka. Bagi mereka yang tidak
tumimbal lahir dari 6 alam kehidupan,pada saat seluruh badan telah menjadi
dingin, bagian kepala tetap hangat.
Hari ke 1 :
Badan medio akan
melihat warna biru cerah seperti biru langit, di tengahnya bertahta Buddha
Vairocana (pilucena-Fo) diatas singga sana singa.
Hari ke 2 :
Terdapat sinar putih
suci yang menyinari badan medio, sinar ini adalah sinar dari budha Aksobhya
(Buddha Vajrasattva/cing kang-Fo) yang bertahta diatas singgasana gajah,
disampingnya terdapat Bodhisattva Ksitigarbha dan Bodhisattva Maitreya.
Hari ke 3 :
Terdapat sinar kuning
indah yang merupakan sinar dari budha Ratnasambhava (pao sen-Fo) yang bertahta
diatas kuda sakti, disampingnya terdapat Bodhisattva Akasagarbha (si Kung Cang
Posat) dan Bodhisattva Samantabhadra (Phu Sien Po-Sat).
Hari ke 4 :
Terdapat sinar merah
yang bagaikan api unggun suci. Inilah sinar dari Amitabha Buddha dari surge
Sukhavati di sebelah barat yang bertahan di singgasana burung merak, langsung
menyinari badan medio, disampingnya terdapat Bodhisattva Avalokitesvara (Kuan
Se Im Po-Sat) dan Budhisattva Mahasthamaprata (Ta Se Ce Po-Sat) yang
berdiri dengan penuh welas asih.
Hari ke 5 :
Terdapat sinar hijau
terang bagaikan pelangi suuci, ini adalah sinar dari Budha Amoghasiddhi (Pu
Kung Cen-Fo) yang bertahta pada singgasana mahluk yang berbadan manusia dan
berkepala burung.
Hari ke 6 :
Jika pada hari ke 6
badan medio blom dapat menemukan penjemputan, tentulah karna akusala
karma yang telah di perbuatnya, atau selama hidupnya tidak mengenal
Buddha darma, sehingga tidak yakin atas pertolongan gaib Buddha dan
Bodhisattva.
Hari ke 7 :
Jika badan medio
melewatkan 6 harip pertama, maka hari ke 7 akan muncul 5 penjemput yang
menduduki posisi timur,selatan, barat, utara, dan tengah.masing-masing
mengangkat taangn kanan nya membentuk mudra penaklukan dan mengeluarkan sinar
yang menyoroti badan medio. Pada saat yang sama,dari alam binatang memancarkan
sinar biru redup, jangan terpikat pada sinar ini, karna munculnya sinar ini
sebenarnya akibat kebodohan diri sandiri.
Hari ke 8 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4, dan bermata
9. Bagiab kanannya berwarna putih, sedangkan kirinya berwarna merah,dan
bagian tengahnya berwarna coklat merah tua. Gigi taringnya menonjol dan alisnya
bersinar nagaikan listrik. Seluruh badannya bercahaya dan berteriak keras
menggelegar. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Vairocana
(Pilucena-Fo) yang datang menjemput, jangan takut dan kaget, bersujudlah
kepadanya dan masuklah kedalam sinar bijak Hyang Buddha, jika saat itu sepenuh
hati menyebut Nama Amitabha Buddha, masih dapat terlahir di surge Sukhavati
bagian barat.
Hari ke 9 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya
berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya
berwarna biru tua. Malaikat ini sebenarnya adalah penjelma dari Buddha Aksobhya
(Vajrasattva/Cing Kang-Fo), yang muncul akibat kontak rasa indra sendiri, jika
disaat itu menyebut Namao amithaba Budha,dengan sepenuh hati, badan medio dapat
tiba juga di surga Sukhavati bagian barat.
Hari ke 10 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah merah, bermuka 3, bertangan 6, berkaki 4. Bagian kirinya
berwarna putih, sedang bagian kanannya berwarna merah dan bagian tengahnya berwarna
kuning tua. Malaikat ini sebenarmya penjelmaan dari Buddha Ratnasambhava (Pao
Sen-fo) dari selatan.
Hari ke 11:
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6,berkaki 4. Bbagian kananya
berwarna putih, sedangkirinya berwarna biru dan tengahnya berwarna
merah.malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amithaba (Omito- F0).
Hari ke 12 :
Tampak malaikat peminum
darah dengan wajah marah, bermuka 3, bertangan 6 dan berkaki 4.kanannya
berwarna putih, kirinya berwarna merah dan bagian tengahnnya berwarna hijau
tua. Malaikat ini adalah penjelmaan dari Buddha Amoghasiddhi (Pu Kung Cen-Fo).
Hari ke 13 :
Pada hari ini akan
muncul 8 malaikat berwajah merah disertai dengan 8 wanita berkepala aneka macam
yang amat menakutkan masing-masing mengambil posisi mengurung dalam 2 lapisan,
jangan takut karna semua ini muncul dari bayangan khayal indra badan medio.
Hari ke 14 :
Pada hari ke 14 badan
medio akan mlihat berbagai bayangan malaikat wanita dengan bentuk rupa yang
marah dan menyeramkan.semua penampakan ini timbul karna kontak rasa dari indra
sendiri. Ke 28 malaikat wanita ini akan mengalilingi badan medio dalam 2
lapisan (luar dan dalam), yang berkedudukan sebagai penjaga pintu 4 penjuru.
Lapisan sebelah dalam
Timur :
1)
Berkepala kerbau dengan warna coklat merah tua,memegang tongkat dan mangkok
dari tengkorak manusia.
2)
Berkepala ular warna merah kuning memegang bunga teratai.
3)
Berkepala macam tutut warna biru hitam memegang tombak bercula tiga.
4)
Berkepala monyet warna hitam memegang roda.
5)
Berkepala beruang es warna merah memegang tombak pendek.
6)
Berkepala beruang putih warna merah memegang tali yang terbuat dari usus
manusia.
Barat :
1)
Berkepala elang warna hijau kehitaman memegang tongkat kecil
2)
Berkepala kuda warna merah memegang kaki tangan mayat.
3)
Berkepala elang warna putih memegang tongkat kayu.
4)
Berkepala anjing warna kuning memegang tongkat dan belati.
5)
Berkepala burung platuk warna merah memegang busur panah.
6)
Berkepala rusa warna hijau memegang hiolo.
Utara :
1)
Berkepala serigala warna biru memegang bendera kecil.
2)
Berkepala kambing hitam warna merah memegang tongkat kayu runcing.
3)
Berkepala babi hutan warna hitammemegang tali urat gigi.
4)
Berkepala burung gagak warna merah memegang jenajah anak kecil.
5)
Berkepala gajah warna hijau hitam memegang jenazah dan mangkok tulang manusia.
6)
Berkepala ular warna biru memegang tali ular.
Selatan :
1)
Berkepala kelelawar warna kuning memegang pisau belati.
2)
Berkepala singa warna merah memegang hiolo.
3)
Berkepala kalajengking warna merah memegang bunga teratai.
4)
Berkepala burung warna putih memegang tongkat.
5)
Berkepala musang berwarna hitam kehijaun memegang tongkat kayu.
6)
Berkepala macan warna kuning kehitaman memegang cawan babi berkepala manusia.
Lapisan sebelah luar
Timur : Berkepala burung berwarna hitam memegang kail bedsi.
Barat : Berkepala singa warna merah memegang rantai besi.
Utara : Berkepala ular warna hijau memegang klenengan/bel.
Selatan : Berkepala kambing hutan warna kuning memegang tali.
Hari ke 15 – 49.
Jika sampai hari ke 14
badan medio belum dapat menggunakan kesempatan yang ada untuk masuk kedalam
alam Buddha, badan medio akan mendengar teriakan-teriakan yang memilukan dan
menyeramkan, terasa angin yang besar dan kencag meniup dari arah belakang dan
sekelilingnya menjadi gelap gulita.disaat itu munculah raja setan dan seluruh
perajuritnya, bentuk badannya besar dan berwajah menakutkan, siap ,meminum
darah manusia. Jika badan medio melihat keadaan ini janganlah takut , sadarlah
bahwa segala wujud atau rupa itu pada hskekatnya adalah kosong. Sebutlah Namo
Amitabha Buddha, maka semua gambaran akan lenyap dan badan medio segera
tumimbal lahir di Surga Sukhavati.
3.
Tumimbal Lahir
Proses tumimba lahir
Budha menjelaskan
peruses tumimbal-lahir sebagai sebab musabab yang saling bergantungan.
Proses ini terutama berhubungan dengan bagai mana mengatasi penderitaan hidup
yang berulang-ulang tanpa mempedulikan teka-teki asa mula kehidupan yang
pertama.tiada sesuatu yang muncul dari ketidak adaan. Tiada sesuatu atau
makhluk yang mncul tanpa ada sebab terlebih dahulu. Segala sesuatu tergantung
pada kejadian yang mendahului atau mengkondisikannya, yang disebut sebab.
Menurut Gunaratna,
terdapat sejumlah hukum yang secara fundamental bekerja dalam proses
tmimba-lahir, yaitu :
1)
Hukum ketidak kekalan atau perubahan;
2)
Hukum penjadian atau dumadi ( law of becoming );
3)
Hukum kesinambungan atau kontinuita;
4)
Hukum karma atau aksi dan reaksi;
5)
Hukum daya tarik dan pertalian (low of attraction & affinity)
Berdasarkan abhidhamma
ia menjelaskan momen-momen pikiran dan bekerjanya pikiran, sadar dan bawah
sadar sehingga hingga kematian berlanjut dengan kelahiran kembali.
Kita tidak tau pasti
dari mana seseorang berasal sebelum terlahir didunia . tetapi dengan melihat
keadaan dan nasib seseorang, kita bisa memperkirakan bagai mana hidupnya
terdahulu.[5]
a)
Dasa dharma dhatu
Didalam agama budha
dikenal adanya 10 alam besar (Dasa Darma Dhatu) yang dapat di kelompokan
menjadi 2 bagian, yaitu :
Kelompok yang tidak
tumiba lahir lagi :
1)
Alam Buddha
Alam Buddha adalah alam
yang maha sempurna, mahluk yang terlahir di ala mini telah melaksanakan Sad
Pramita dengan sempurna hingga memperoleh tingkat pencerahan Bodhi yang tiada
taranya (Anuttara Samyaksambodhi), jasa dan pahalanya telah
brlimpah-limpah serta mempunyai kemampuan membimbing semua mahluk agar
memperoleh kesadaran bodhi.
2)
Alam Bodhisattva
Alam ini dihuni oleh
mahluk yang telah melaksanakan sad Pramita dengan baik, tetapi pahalanya belum,
berlimpah –limpah dan mempunyai kemampuan untuk menolong dirinya sendiri serta
semua makhluk yang lain agar bebas dari alam sangsara.
3)
Alam Pratyeka Buddha
Makhluk yang dengan
usaha dan pengetahuan sendiri telah melatih dan berhasil memutuskan dengan
sempurna 12 rantai sebab musabab yang saling bergantungan
(Devadasang Pratityasamutpada) akan memperoleh pencerahan Pratyeka Bodhi dan
berdiam di alam Pratyeka Buddha.
4)
Alam Arhat
Alam arhat dihuni oleh
mahluk yang telah sempurna melaksanakan 4 kesunyataan mulia (Catur aryasatyani)
dan sempurna pula di dalam melaksanakan Sila, Samadhi, Prajna dengasn mengikuti
ajarn Syamyaksambuddha sehingga mencapai pencerahan sravaka Bodhi untuk
dirinya sendiri.
Kelompok yang masih tumimba lahir :
5)
Alam Dewa
Alam dewa diikuti oleh
kegembiraan, usia panjang dan kemakmuran yang berlimpah-limpah. Makhluk yang
dapat dilahirkan di alam ini, telah sempuna menjalankan 10 perbuatan bajik
(Dasa Kusala Karma) dan melakukan dana demi kepentinga orang banyak.
6)
Alam Manusia
Alam Manusia bersifat
derita, tidak kekal dan tanpa inti (Dukha, Anitthya, An-atman), dan setelah
mati dapat di peruses tumimbal lahir di salah satu dari 10 alam besar sesuai
karmanya. Untuk dapat dilahirkan sebagai manusia, makhluk tersebut harus
menjalankan Pancasila dan Dasa Kusala Karma.
7)
Alam Asura
Mahlukl yang dilahirkan
di Alam Asura ini, tidak menjalankan panca Sila dan Dasa Kusala Karma. Akan
tetapi melatih diri dengan Samadhi, sehingga memperoleh kekuatan gaib serta
penuh dengan angkara murka. Alam Asura mempunyai nafsu keinginan dan emosi yang
luar biasa, serta mempunyai kesaktian seperti dewa, tetapi ala mini diliputi
dengan kegelisahan, ketidak tentraman, kemarahan dan jangka waktu hidupnya
lebih panjang dari pada alam manusia.
8)
Alam Binatang
Alam ini diliputi
dengan ketidakkekalan,kegelisahan,kebodohan serta tidak mempunyai kesempatan
untuk memperbaikinya.
9)
Alam Setan Gentayangan
Makhluk yang dilahirkan
dialam preta karna dia telah melanggar Panca Sila dan Dasa Kusala Karma serta
pikirannya selalu diliputi dengan dosa, moha dan lobha (kebencian, kebodohan
dan keserakahan ).
10) Alam Neraka
Makhluk yang dilahirkan
di alam neraka ini karena dia telah melanggar Panca Sila dan Dasar Kusala
Karma, serta pikirannya selalu diliputi dengan kebencian,kebodohan dan
keserakahan yang tiada taranya, semasa hidupnya tidak berbakti dan
menyusahkan orang tua.
b)
Tanda-tanda berkontak rasa dengan berbagai alam
1)
Alam Surga Sukhayati
Mereka yang semasa
hidupnya belajar dan membinadiri dengan metode memasuki lautan Samadhi Surga
Sukhavati dan semua upacara,pikiran: perbuatannya selaras dengan Buddhi Darma.
2)
Alam Neraka
Saat akan tumimbal
lahir didalam neraka, badan medio mendengar suara-suara yang sedih, menjadi
tertarik dan mengikutinya, badan medio akan masuk kerumah batu dan goa
berwarna hitam dan putih, selanjutnya melewati dengan terowongan yang gelap.
3)
Alam Setan Gentayangan (Preta)
Alam ini disebut juga
alam setan kelaparan, karna selalu merasa kelaparan, tak pernah puas, keinginan
tak bisa tercapai, dia hanya menunggu adanya upacara Ullambana atau
upacara persembahan puja makanan yang dilakukan oleh orang sucobarul;ah ia
dapat makan dan tertolong.
4)
Alam binatang beberapa goa dan gunung jika badan medio tertarik dan masuk
kedalamnya , maka akan tumimba lahir menjadi bintang.
Dalam alam in, badan
medio akan melihat suatu padang rumput yang luas, beberapa goa dan gunung jika
badan medio tertarik dan masuk kedalamnya, maka akan tumimbal lahir seperti
binatang.
5)
Alam Asura
Badan medio akan
melihat hutan kayu yang indah dan 2 roda api berputar mengagumkan, bila
tertarik dan mendekatnya maka akan segera tumimmbal lahir di alam asura.
6)
Alam Manusia
Muls-mula badan medio
akan melihat ayah dan ibunya bermesraan dan bersenggama , bila tertarik dan
jodoh nya berat ke pihak ibu maka akan terlahir sebagai laki-laki, sedangkan
apabila lebih berat ke ayah akan terlahir sebagai wanita.
7)
Alam Dewa
Badan medio akan
mendengar music kayangan yang merdu, tampak istana yang indah dan megah,
kemudian akan dijemput oleh bidadari kayangan yang cantik dan dewa petugas yang
tampan.
[3]http://click-gen.blogspot.com/2011/12/pengertian-tujuan-serta-fungsi-dan.html Diakses pada
22 April 2015 pukul 12:23
[4]Mukti Ali,
Agama-Agama Dunia, (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga PRESS, 1988), hlm. 543
[5]http://dharmajayantipande.blogspot.com/2011/10/rsi-yadnya.html
Diakses pada 23
April 2015 pukul 20:55
[9]
Krishnanda
Wijaya-Mukti. Wacana Buddha-Dharma.(Jakarta:
Yayasan Dharma Pembangunan, 2003), hlm. 213
[10]
http://buddhaschool.blogspot.com/2011/04/pembagian-bhavanameditasi-meditasi.html
Diakses pada 22 April 2015 pukul 21:12
[11]
http://andisetiyono.blogspot.com/2013/02/metta-bhavana-sebagai-pembentuk-watak.html
Diakses pada 23 April 2015 pukul 21:14
Komentar
Posting Komentar