AJARAN HINDU DHARMA DAN BUDHA DARMA TENTANG KETUHANAN
Disusun
Oleh:
Kelompok Lima (5)
Ismail Sholeh : 1113032100040
Wahid Muhammad
: 1113032100068
Sukmaya : 1113032100043
Yudi Attahrim : 1113032100061
Usup Mardani
: 11130321000
A.
Ajaran dan konsep KeTuhanan
Tuhan Yang Maha Esa Menurut Hindu Dharma
Menurut Hindu Dharma, Tuhan hanya satu. Umat Hindu di Indonesia memberi Dia
gelar Sang Hyang Widhi Wasa ‘Widhi’ berarti takdir dan ‘Wasa’ artinya Yang Maha
Kuasa. ‘Widhi Wasa’ berarti Yang Maha Kuasa, yang mentakdirkan segala yang ada.
Dia juga disebut
Bhatara Ciwa Pelindung Yang Tertinggi. Banyak gelar lagi yang dipersembahkan
oleh umat Hindu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai Sang Hyang Parameswara raja
Termulia, Parama Wicesa, Maha Kuasa, jagat Karana pencita Alam dan
lain-lainnya.
Sebagai pencipta Ia bergelar Brahma (Utpatti), dalam aksara Ia disimbolkan
dengan huruf ‘A’. Sebagai pemelihara dan pelindung (Sthiti) ia disebut Wisnu
dalam aksara disimbolkan huruf ‘U’. Sebagai Tuhan yang mengembalikan segala isi
alam kepada suber asalnya (Pralina) Ia bergelar Ciwa; sering juga disebut
sebagai Icwara, sibolnya dalam aksara adalah huruf ‘M’.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam pustaka suci Weda: “EKAM EVA
ADWITYAM BRAHMAN” , artinya: “hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya Adwityam
Hyang Widhi itu itu “EKO NARAYANAD NA DWITYO’STI KACIT” artinya: “hanya satu
Tuhan sama sekali tidak ada duanya”.
Gelar Tuhan disebut dengan berbagai nama disebabkan sifat-sifat Sang Hyang
Widhi Yang Maha Mulia, Maha Kuasa, Maha Pengasih dan tiada terbatas. Sedangkan
kekuatan manusia untuk menggambarkan Sang Hyang Widhi sangat terbatas. Rsi-rsi
agama Hindu hanya mampu memberi sebutan dengan berbagai nama serta berbagai
fungsinya. Yang paling utama ialah TRI SAKTI, yakni:
A. BRAHMA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pencipta,
dalam bahasa sansekerta disebut “UTPATTI”.
B. WISNU adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung,
pemelihara dengan segala kasih-sayangnya. Pelindung dalam bahasa sansekerta
disebut “STHITI”.
C. SIWA adalah sebutan Sang Hyang Widhi dalam fungsinya melebur (pralina)
dunia serta isinya dan mengembalikan dalam penyadaran ke asal.
TRI SAKTI ini mencipta, memelihara dan melebur semesta alam. Mereka
menguasai ketiga hukum: lahir, hidup, dan mati serta seluruh makhluk, termasuk
manusia. untuk dapat meresapkan kemahakuasaan Hyang Widhi ini, agama Hindu
memberikan simbol pada kekuatannya dalam ucapan aksara suci “OM” Perkataan “OM” adalah
aksara suci untuk mewujudkan Sang Hyang Widhi dengan ketiga prabawanya, yaitu:
Aksara ‘A’ untuk menyimbolkan BRAHMA , Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pencipta.
Aksara ‘U’ untuk menyimbolkan WISNU, Hyang Widhi prabhawanya Maha
Melindungi.
Aksara ‘M’ untuk menyimbolkan SIWA, Hyang Widhi dalam prabhawanya Maha
Pelebur.
Suara ‘A’, ‘U’ dan ‘M’ ditunggalkan menjadi AUM atau OM.
Dalam Agama Hindu, Sang Hyang Widhi tidak sama dengan Dewa atau Bhatara.
Dewa adalah perwujudan sinar suci dari Sang Hyang Widhi yang memberi kekuatan
suci guna kesempurnaan hidup makhluk. Dewa itu bukan Sang Hyang Widhi Wasa, Ia
hanyalah sinarnya.
Kata ‘Dewa’ berasal dari bahasa sansekerta ‘DIV’, artinya Sinar (kata ini
menjadi Day dan Divine dalam bahasa inggris). Tegasnya, Dewa berarti
bersinar, sedangkan kata Bhatara adalah prabhawa (manifestasi) kekuatan dari
Sang Hyang Widhi untuk memberi perlindungan terhadap ciptaannya.
Kata ‘Bhatara’ berasal dari bahasa sansekerta ‘BHATR’ yang berarti
pelindung, antara Dewa dan Bhatara sering pemakaiannya diartikan sama saja.
Umpamanya Dewa Wisnu disebut juga Bhatara Wisnu karena beliau melindungi
makhluk semesta.
Tripramana
Agama Hindu mengajarkan teori “TRIPRAMANA” yakni: tiga cara untuk
mengetahui benar-benar adanya Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dengan cara:
A. PRATYAKSA PRAMANA ialah dengan cara melihat langsung, mengenal Tuhan Yang
Maha Esa hanya orang-orang sangat suci yang mungkin mengetahui Sang Hyang Widhi
dengan cara melihat langsung, yaitu dengan cara Pratyaksa pramana.
B. ANUMANA PRAMANA ialah dengan cara analisa yang mudah-mudah saja. Umat
Hindu percaya bahwa terdapatnya seluruh alam semesta tentu ada yang
menciptakan, yanki Sang Hyang Widhi. Apabila manusia mati tentu ada tempatnya
bagi atman yang lepas dari badan. Inipun tentu adalah Sang Hyang Widhi.
C. AGAMA PRAMANA ialah denga cara mempercayai isi pustaka suci Agama Hindu.
Umpamanya kitab suci Upanisad menyatakan bahwa Sang Hyang Widhi adalah “telinga
dari semua telinga; pikiran dari semua pikiran; ucapan dari segala ucapan; nafas
dari segala nafas; mata dari segala mata”, dan lain sebagainya.
Adanya Sang Hyang Widhi
Maka dari itu, Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa merupakan maha Sempurna
dan tidak terbatas, karena itu manusia tidak dapat melihatnya. Walaupun
manusia tidak dapat melihat Sang Hyang Widhi bukanlah Sang Hyang
Widhi tidak ada. Sebagai halnya bintang-bintang di langit, tidak kelihatan pada
siang hari tidak berarti bahwa bintang-bintang itu tidak ada atau ada hanya
pada waktu malam saja. Justru karena mata manusia tidak mampu menembus sinar
matahari, maka dari itulah sebabnya tidak dapat melihat bintang-bintang di
langit. Akan tetapi bintang-bintang itu tetap ada. Demikian pula lantaran
manusia tidak dapat menembus kegelapan jiwanya. Maka tidak dapat pula melihat Sang
Hyang Widhi, akan tetapi Sang Hyang Widhi pada hakikatnya tetap ada. Umat
beragama yang benar-benar melaksanakan kehidupan suci sesuai dengan petunjuk
dan ajaran pustaka suci, niscaya akan melihat Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha
Esa dengan terang. Tuhan Yang Maha Esa akan tampil dalam hati-sanubari para
umat beragama dan jiwa yang suci lagi murni.
Tidak Berbentuk
Dalam pustaka suci Weda, disebutkan bahwa Sang Hyang Widhi tidak berbentuk,
tidak bertangan maupun berkaki, tidak berpancaindra, tetapi beliau dapat
mengetahui segala sesuatu yang ada pada makhluk. Lagi pada Hyang Widhi tidak
pernah lahir dan tidak pernah tua, tidak pernah berkurang juga bertambah.
Tegasnya Sang Hyang Widhi tidak berbentuk tetapi karena kemuliaannya dapat
mengambil wujud sesuai dengan keadaan untuk menegakan Dharma. Perwujudan ini
dinamakan AWATARA.
Awatara
Istilah Awatara adalah perwujudan Sang Hyang Widhi ke dunia
dengan mengambil suatu bentuk yang dengan perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya,
beri tuntutan untuk membebaskan manusia dari penderitaan dan angkara murka
disebabkan kegelapan awidya.
Pustaka suci Bhagavadgita, Bab IV sloka 7
berbunyi:
“Manakala Dharma (kebenaran) mulai hilang
Dan Adharma (kejahatan) mulai merajalela,
Saat itu, wahai keturunan Brata (arjuna),
Aku sendiri turun menjelma.
Ternyata apabila dunia dalam penderitaan dan dikuasai Adharma, maka Sang
Hyang Widhi turun ke dunia untuk menegakan Dharma. Dalam hal ini, Sang Hyang
Widhi/Tuhan Yang Maha Esa dalam maifestasinya sebagai Wisnu, telah menjelma ke
dunia ini sebagai Awatara sebanyak Sembilan kali untuk menjelmakan dan
menegakan Dharma. Dalam kitab suci Purana, ada disebutkan DHASA AWATARA
(Sepuluh Awatara) sebagai berikut:
- MATYSA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi berbentuk ikan besar, telah menyelamatkan manusia dari banjir yang maha besar.
- KURMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai kura-kura raksasa telah menupu dunia ini agar terhindar dari bahaya terbenam.
- WARAHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi sebagai seekor badak agung yang telah menyelamatkan dunia dan mengait dunia dari bahaya terbenam.
- NARASIMBA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi dalam bentuk manusia berkepala samba (singa) telah menyelamatkan dunia dengan mebasmi kekejaman Raja Hirnyakasipu yang terkenal dengan lalim dan selalu menindas Dharma.
- WAMANA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai orang kerdil yang berpengengetahuan tinggi dan mulia, telah menyelamatkan dunia dengan mengalahkan Maharaja Bali yang selalu menginjak-injak Dharma dan kedaulatan negara.
- PARASHURAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia bentuk Ramaparashu, yakni Rama yang bersenjata kapak telah menyelamatkan dunia dengan membasmi segenap kesatrya yang menyeleweng dari ajaran Dharma.
- RAMA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagi Sri Rama, putra raja Dasharatha, telah menyelamatkan duina dengan membasmi Sang Rawana, raja kelaliman dan keangkaramurkaan di negeri Alengka.
- KRESNA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Sri Kresna , raja Dwarawati yang terkenal, telah membasmi raja Kangsa dan jarasada tokoh kelaliman.
- BUDDHA AWATARA: Awatara Sang Hyang Widhi turun ke dunia sebagai Buddha Gautama, putra raja Sudhodana yang lahir di kapilavastu, telah menyebarkan Dharma dan memberikan tuntunan kepada manusia untuk mencapai Nirwana.
KALKI AWATARA: penjelmaan terakhir Sang Hyang
Widhi akan membasmi segala penghianat dan penyeleweng agama. KALKI akan turun
ke dunia pada zaman Kali Yuda, yakni zaman memuncaknya pertentangan. Menurut
keyakinan umat Hindu, Awatara Kalki itu sekarang amsih belum lahir, namun pasti
akan lahir untuk melenyapkan pertentangan-pertentangan keyakinan itu.
Rsi—Acarya/Sulinggih
Disamping Awatara, dalam agama Hindu terdapat pula istilah ‘Rsi’ dan
‘Acarya’. Rsi adalah orang suci yang atas usahanya melakukan tapa yoga, semadi,
memiliki kesucian dan dapat menghubungkan dirinya kepada Sang Hyang Widhi dan
sudah mencapai moksa, sehingga dapat melihat hal-hal yang lampau (atita), yang
sekarang (wartamana) dan yang akan datang (anagata).
Para rsi berkewajiban memelihara, menuntun umat manusia dengan
ajaran-ajaran Weda. Awatara berbeda dengan Rsi, sebab yang satu turun dari atas
sedangka yang lainnya dari bawah naik ke atas. Acarya berbeda pula dengan Rsi,
sebab Rsi sudah melepaskan dir dari ikatan keduniawian, sedangkan Acarya masih
belum dapat melepaskan diri dari ikatan keduniawian, ia harus melakukan upacara
keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
1. Ajaran Tentang Seembahyang
Berkenaan dengan ajaran mengenai ritual Hindu yang di ajarkan dalam naskah
Kusumadewa sesungguhnya tidak terlepas dengan beberapa mantra dan doa suci yang
dilafaskan oleh pemanku disatu tempat yang suci sesuai dengan rangkaian dan
enis upacara yang dijelaskan didalamnya.
Beberapa hal utama sebagai periapan rituan Hindu yang diajarkan dalam
naskah Kusumadewa yakni pentingnya membersihkan sarana atau alat yang digunakan
untuk melakukan persembahyangan. Adapun alat tersebut antara lain.
- Membersihkan Cablong
- Menata tikar
- Memetik daun
- Memasang caniga
- Membersihkan juntandeg
- Mengisi juntanddeg air uci
- Meenempatan dupa pada bangunan suci
- Mengahturkan dupa
- Dll.
Sebagai akhir dari semua rangkayan ritual dalam upacara piodalan adalah
membagikan air suci atau thirta yang diawali dengan memercikan pada bagian
kepala sebanyak tiga kali , air suci ddi minum tiga kali, serta air suci
digunakan untuk membersihkan muka sebagai kesucian dan anugrah Ida sang Hyang
Widhi Wasa juga dibasuhkn tiga kali padda bagian muka. Terakhir adalah nunas
sekar disertai ucapan ‘Ong Kasumaduhadi jaya nama swaha’ yang maknanya anugrah
dari sang Hyang widhi wasa.
Waktu berdetik-detik, bermenit-menit berhari-hari, bertahun-tahun, terus
berputas di kita semua. Para Rsi kita menyadari bahwa pase-fase waktu tersebut
mempengaruhi kekuatan-kekuatan dan energi yang berbeda. Kekuatan-kekuatan itu
digambarkan sebagai dewa dan dewi. Mengucapkan doa atau arti pada jam-jam
tersebut secara teratur sangat penting karena kekuataan dewa dan dewi pada saat
itu sangat senssitif pada jam-jam tersebut. Demikian pula pada jam-jam
untuk kita beraktifitas kehidupan keagaamaan dan spiritual.
- Memahami filosofi sembahyang
Perseembahyangan daalam agama Hindu yang dianut di Bali merupakan cara-cara
melakukan hubungan Atma dengan parama-atma, antara manusia dengan Sang Hyang
Widhi serta semua manifestassinya.
- Arti dan makna seembahyang
Kata “seembahyang” berasal dri bahasa Jawa Kuno. Sembah dalam bahasa jawa
kuno berarti “menyayangi, menghormati, memohon, menyerahkan diri dan menyatukan
diri. Sedangkan kata Hyang artinya “suci”. Jadi kata seembahyang berarti
menyembah yang suci untuk mnyerahkan diri pada yang hakekatnya lebih tinggi.
Dalam bahasa yang biasa yang mereka gunakan adalah “yajna/ yadnya”.
Istilah yajna berasal dari akar kata sangsekerta “yaj” berarti menyembah,
berdoa, berkorban, beramal dan bekerja sunguh-sungguh. Pada dasarnya yajna
bertujuan uuntuk membalas hutang budi kepada Tuhan yang Maha Esa.
Panca yajna ialah lima hal yang dipersembahkan atau pengabdian
- Brahman yajna: berbakti pada Tuhan YME
- Devaa yajna: berbakti pada Dewata
- Pitri yajna: berbakti pada nenek moyang
- Nri yajna: sedekah pada yang miskin
- Bhuta yajna: memberikan makanan pada binatang
- Yang boleh di sembah
- Ida sang Hyang Widhi wasa
- Para dewa-dewa
- Para Rsi
- Leluhur
- Manusia
- Bhuta
- Arti dan fungsi sarana sembahyang
Melakukan perseembahyangan umumnya umat Hindu Bali menggunakan berbagai
sarana untuk memantapkan hatinya dalam melakukan perseembahyangan. Sarana itu
ada berupa bunga, buah, daun, api, dan juga thirta.
B. Konsep Ketuhanan Buddha Dharma
Tak dapat dikatakan bahwa didalam ajaran agama buddha seperti yang terdapat
didalam kitab pitaka terdapat ajaran tentang tuhana atau tokoh yang
dipertuhankan. Tujuan hidup bukan untuk kembali kepada asalanya, yaitu tuhan.
Melainkan unuk masuk kedalam nirwana, pemadaman, suatu suasana yang tanpa
kemauan, tanpa perasaan, tanpa keinginan tanpa kesadaran, suatu keadaan dimana
orang tidak lagi terbakar oleh nafsunya. Itulah situasi damai.
Oleh karen itu ada ahli-ahli agama yang tidak mau mengakui, bahwa buddhisme
adalah suatu agama. Buddhisme adalah suatu falsafah, suatu usaha akal manusia
untuk mencari kedamaian dengan rumusan-rumusan yang sistematis mengenai sebab
dan akibat. Akan tetapi pendapat yang demikian adalah keliru. Memang harus diakui
bahwa sebutan tuhan atau tokoh yang dipertuhan tidak ada. Yang ada adalah
nirwana, pemadaman, situasi padam, bukan tokoh yang memadamka. Tak ada gagasan
tentang suatu pribadi yang ada dibelakang suasana damai itu. Tak ada gagasan
tentang pemberi hukum, tata tertib, baik yang alamiah mauun yang moril. Tiada
gambaran tentang yang disembah dan yang menyembah. Sekalipun demikian,
dibelakang segala pernyataan yang negatif itu terdengar juga seruan manusia
akan yang dipertuhan tadi.
Ajaran agama-agama tentang keyakinan terhadapa tuhan yang maha esa
berbeda-beda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangan terdapat pula
hal-hal yang sama, yaitu dia adalah yang mutlak, yang sering dipahami dan
dialami sebagai misteri, rahasia yang mengatasi dunia.
Buddha mengajarkan ketuhanan tanpa menyebut nama tuhan. Tuhan yang tanpa
batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama,
karena dengan sendirinya nama itu akan memberi pembatasan kepada yang tidak
terbatas. Dalam agama buddha tuhan tidak dipandang sebagai suatu pribadi
(personifikasi), tidak bersifat antropomorfisme (pengenaan ciri-ciri yang
berasal dari wujud manusia) dan antropopatisme (pengenaan pengertian yang
berasal dari perasaan manusia).
Buddha tidak mengajarkan teisme fatalistis dan determinis yang menempatkan
suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk.
Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dngan sendirinya
swajarnya juga meniadakan tanggung jawab moral perbuatan manusia .
1) Adi Buddha
Dalam agama buddha terdapat banyak buddha,
tetapi hanya ada satu dharmakaya. Dharmakaya yang merupakan sumber perwujudan
panca dhyani buddha dinamakan adi buddha. ”buddha tanpa awal dan akhir adalah
adi buddha”. Sebutan adi buddha berasal dari tradisi aisvarika (isvara,
tuhan, maha buddha), aliran mahayana di nepal, yang menyebar lewat benggala,
hinnga dikenal pula di jawa.
Adi buddha merupakan buddha primordial,
yang esa atau dinamakan juga paramadhi buddha (buddha yang pertama dan tiada
banding). Adi buddha timbl dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam
berbagai bentuk sehingga disebut visvarupa serta namanya pun tidak terbilang
banyaknya. Adi buddha sering diidentifikasikan sebagai salah satu buddha
mistis, berbeda-beda menurut sekte. Dengan memahami arti dari setiap sebutan
yang maha esa, yang maha pengasih, yang maha tahu dan sebagainyayang bermacam-macam,
sama menunjuk dari sifat tuhan yang satu.
Konsep adi buddha terdapat dalam
kitabnamangsiti, karandavyuha, svayambhupurana, maha vairocanabhisambodhi
sutra, guhya samaya sutra, tattvasangraha sutra, dan paramadi buddhodharta sri
kalacakra sutra. Di indonesia sikenal dengan kitab namangsiti versi
chandrakirti dari sriwijaya dan sanghyang kama hayanikan dari zaman
pemerintahan mpu sendok.
Walau umat buddha menyebut tuhan yang maha
esa dengan nama yang berbeda-beda. Undang-undang RI no.43 tahun 1999 (perubahan
atas UU no. 8 tahun 1974 tentang
pokok-pokok kepegawaian), sebagaimana peraturan pemerintah RI no. 21 tahun 1975 (tentang sumpah/janji
pegawai negri sipil), menyatakan dalam pengucapan sumpah atau janji bagi mereka
yang beragama buddha, kata-kata “demi allah” diganti dengan “demi sang hyang
adi buddha”
2) Bhakti Puja dalam Buddha Dharma
Banyak orang sering menyebutkan secara
keliru bahwa umat buddha melakukan sembahyang di vihara. Untuk itu, sebaiknya
harus dimengerti terlebih dahulu istilah sembahyang yang sebenarnya terdiri
dari dua suku kata yaitu sembah berarti menghormat dan hyang yaitu dewa. Dengan
demikian, sembahyang berarti menghormat, menyembah para dewa. Apabila
sembahyang diartikan seperti itu, maka umat buddha sesungguhnya tidak melakukan
sembahyang. Umat buddha bukanlah umat yang menghormat maupun menyembah para
dewa. Umat buddha mengakui keberadaan para dewa dewi di surga, namun umat tidak
sembahyang kepada mereka. Umat buddha juga tidak berdoa karena istilah ini
mempunyai pengertian ada permintaan yang disebutkan ketika seseorang sedang
berdoa [6]. Umat buddha tentu saja tidak pernah meminta kepada arca sang buddha
maupun kepada pihak lain. Keterangan ini jelas menegaskan bahwa umat buddha
bukanlah penyembah berhala karena memang tidak pernah meminta-minta apapun juga
kepada arca sang buddha, arca yang lain bahkan kekuatan di luar manusia
lainnya. Daripada disebut sembahyang maupun doa, umat buddha lebih sesuai
dinyatakan sedang melakukan puja bakti. Istilah puja bakti ini terdiri dari kata
puja yang bermakna menghormat dan bakti yang lebih diartikan sebagai
melaksanakan ajaran sang buddha dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam melakukan puja bakti, umat buddha
melaksanakan tradisi yang telah berlangsung sejak jaman sang buddha masih hidup
yaitu umat datang, masuk ke ruang penghormatan dengan tenang, melakukan
namakara atau bersujud yang bertujuan untuk menghormat kepada lambang sang
buddha, jadi bukan menyembah patung atau berhala. Kebiasaan bersujud ini
dilakukan karena sang buddha berasal dari India. Sudah menjadi tradisi sejak
jaman dahulu di berbagai negara timur termasuk India bahwa ketika seseorang
bertemu dengan mereka yang dihormati, maka ia akan melakukan sujud yaitu
menempelkan dahi ke lantai sebagai tanda menghormati mereka yang layak dihormati
dan menunjukkan upaya untuk mengurangi keakuan sendiri.
Karena bersujud di depan altar ataupun arca
Sang Buddha hanyalah bagian dari tradisi, maka para umat dan simpatisan boleh
saja tidak melakukannya apabila batinnya tidak berkenan untuk melakukan
tindakan itu. Tidak masalah, karena sebentuk arca tidak mungkin menuntut dan
memaksa seseorang yang berada di depannya untuk bersujud. Namun, dengan mampu
bersujud, maka seseorang akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk berbuat
baik dengan badannya. Ia belajar bersikap rendah hati.
Setelah memasuki ruangan dan bersujud, umat
buddha dapat duduk bersila di tempat yang telah disediakan. Umat kemudian
secara sendiri atau bersama-sama dengan umat yang ada dalam ruangan tersebut
membaca paritta yaitu mengulang kotbah sang buddha. Diharapkan dengan
pengulangan kotbah sang buddha, umat mempunyai kesempatan untuk merenungkan isi
uraian dhamma sang buddha serta berusaha melaksanakannya dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, semakin lama seseorang mengenal dhamma, semakin
banyak ia melakukan puja bakti, semakin banyak kotbah sang buddha yang diulang,
maka sudah seharusnya ia semakin baik pula dalam tindakan, ucapan maupun pola
pikirnya.
Salah satu contoh yang paling mudah
ditemukan adalah kebiasaan umat membaca karaniyametta Sutta di vihara. Sutta
atau kotbah sang buddha ini berisikan cara memancarkan pikiran penuh cinta
kasih kepada semua mahluk di setiap waktu, ketika seseorang sedang berdiri,
berjalan, berbaring, berdiam selagi ia tidak tidur. Diharapkan, dengan sering
membaca sutta tersebut seseorang akan selalu berusaha memancarkan pikiran cinta
kasih kepada lingkungannya. Ia hendaknya menjadi orang yang lebih sabar dari
sebelumnya. Disebutkan pula dalam salah satu bait sutta tersebut bahwa jangan
karena marah dan benci mengharapkan orang lain celaka. Pengertian baris cinta
kasih ini sungguh sangat mendalam dan layak dilaksanakan. Dengan mampu
melaksanakan satu baris ini saja dalam kehidupan, maka batin seseorang akan
menjadi lebih tenang dan bahagia walaupun berjumpa dengan kondisi yang tidak
sesuai keinginannya. Ia akan menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya.
Dengan demikian, setiap kali ia hadir dan berkumpul maka ia akan selalu membawa
kebahagiaan untuk lingkungannya.
Itulah makna sesungguhnya dari pengertian
puja bakti yaitu menghormat dan melaksanakan ajaran sang buddha. Sekali lagi,
umat buddha tidak berdoa, juga tidak sembahyang. Namun, sebagai manusia biasa,
adalah wajar apabila umat buddha mempunyai keinginan atau permintaan, misalnya
ingin banyak rejeki, ingin kaya dan sebagainya. Jika demikian, bagaimanakah
yang dilakukan oleh umat buddha agar keinginan atau harapan yang ia miliki
tersebut dapat tercapai?
Untuk mencapai keinginan yang dimiliki,
secara tradisi umat buddha disarankan untuk melakukan kebajikan terlebih dahulu
dengan badan, ucapan dan juga pikiran. Setelah berbuat kebajikan, ia dapat
mengarahkan kebajikan yang telah dilakukan tersebut agar memberikan kebahagiaan
seperti yang diharapkan.
Komentar
Posting Komentar