Nama: Ismail Sholeh
Mahasiswa: uin syarif hidyatullah jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Islam, kita mengenal pokok-pokok yang dijadikan landasan atau
sumber hukum. Selain al-Qur’an, sunnah dan ijma’, ada pula qiyas (analogi).
Sebuah mekanisme untuk mengetahui sebuah hukum dengan cara menganalisis
terlebih dahulu permashlahan baru yang timbul dan mengkaitkan permashlahan
tersebut dengan dalil-dalil hukum Islam yang ada yaitu al-Qur’an, sunnah dan
ijma’. Apa bila tidak ditemukan kejelasan hukumnya, barulah metode qiyas ini
digunakan, yakni menerapkan hukum atas permasalahan yang sudah jelas nash-hanya
pada masalah baru tersebut setelah diyakini adanya kesamaan dalam ‘illat
hukumnya. Kajian ini menjadi penting, dan akan lebih menarik ketika muncul
mashlah-mashlah baru (kontemporer) yang secara eksplisit tidak ditemukan
jawabannya pada kitab-kitab hukum Islam yang disusun oleh para ulama terdahulu.
Oleh karena qiyas ini didasarkan pada penalaran akal, maka diantara
ulama dari berbagai golongan tidak ada satu kata sepakat terhadap otoritas
qiyas. Sebagian mereka ada yang mengakui dan menerima bahkan mengharuskannya
untuk dijadikan landasan hukum, sementara sebagian yang lain ada yang menolak
penggunaannya dan ada yang bersikap di taengah-tangah. Masing masing mereka
memiliki alasan serta dasar atas argumen mereka pegangi itu.
Makalah ini sedikit banyak akan memeberikan gambaran seputar
dasar-dasar yang menjadikan qiyas dapat dijadikan sebagai landasan, dalil atau
metode dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah baru yang timbul yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan Sunnah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Syarat-syarat Qias
1.
PengertianQiyas
(القياس)
Oleh: asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-’Utsaimin -Rahimahullah-
Definisinya : Qiyas secara
bahasa : Pengukuran (التقدير) dan Penyamaan (المساواة).
Secara istilah :
تسوية فرع بأصل في حكم لعلَّة جامعة بينهم
“Menyamakan cabang dengan
yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama
antara keduanya.”
Cabang (الفرع) : yang diqiyaskan (المقيس).
Pokok/ashl (الأصل) :
yang diqiyaskan kepadanya (المقيس عليه).
Hukum (الحكم) :
ما اقتضاه الدليل الشرعي من وجوب، أو تحريم، أو صحة، أو فساد، أو
غيرها
“Apa yang menjadi konsekuensi dalil syar’i dari yang wajib atau
harom, sah atau rusak, atau yang selainnya.”
Sebab/‘illah (العلة) :
المعنى الذي ثبت بسببه حكم الأصل
“Sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut.”
Ini merupakan empat rukun qiyas, dan qiyas merupakan salah satu
dalil yang hukum-hukum syar’i ditetapkan dengannya.
Dan sungguh al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan sahabat telah
menunjukkan dianggapnya qiyas sebagai dalil syar’i. Adapun dalil-dalil dari
al-Kitab :
1)
Firman
Alloh ta’ala :
اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَان
“Allah-lah yang menurunkan al-Kitab dengan (membawa) kebenaran dan
(menurunkan) mizan.” [QS. Asy-Syuuro : 17]
Mizan/timbangan (َالْمِيزَان) adalah sesuatu yang perkara-perkara
ditimbang dengannya dan diqiyaskan dengannya
2)
Firman
Alloh ta’ala :
كَمَا بَدَأْنَا أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُه
“Sebagaimana Kami telah
memulai panciptaan pertama begitulah Kami akan mengulanginya” [QS. Al-Anbiya :
104]
وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَاباً
فَسُقْنَاهُ إِلَى بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا
كَذَلِكَ النُّشُورُ
“Dan Allah-lah mengirimkan angin, lalu angin itu menggerakkan awan,
maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi
setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.” [QS. Fathir :
9]
Alloh ta’ala menyerupakan
pengulangan penciptaan dengan permulaannya, dan menyerupakan menghidupkan yang
mati dengan menghidupkan bumi, ini adalah qiyas..
Di antara dalil-dalil sunnah :
1. Sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam kepada seorang wanita
yang bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal :
أرأيتِ لو كان على أمك دين فقضيته؛ أكان يؤدي ذلك عنها“؟ قالت: نعم.
قال: “فصومي عن أمك
“Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang lalu kamu
membayarnya? Apakah hutang tersebut tertunaikan untuknya?” Dia menjawab : “Ya”.
Beliau bersabda : “Maka berpuasalah untuk ibumu.”
2. Bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa
sallam lalu ia berkata :
يا رسول الله! ولد لي غلام أسود! فقال: “هل لك من إبل“؟ قال: نعم،
قال: “ما ألوانها“؟ قال: حمر، قال: “هل فيها من أورق“؟ قال: نعم، قال: “فأنى ذلك“؟
قال: لعله نزعه عرق، قال: “فلعل ابنك هذا نزعه عرق“
“Wahai Rosullulloh! Telah dilahirkan untukku seorang anak yang
berkulit hitam.” Maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam berkata : “Apakah kamu
memiliki unta? Ia menjawab : “Ya”, Nabi berkata : “Apa saja warnanya?” Ia
menjawab : “Merah”, Nabi berkata : “Apakah ada yang berwarna keabu-abuan?” Ia
menjawab : “Ya”, Nabi berkata : “Mengapa demikian?” Ia menjawab : ” Mungkin
uratnya ada yang salah” Nabi berkata : “Mungkin juga anakmu ini terjadi
kesalahan urat”.
Demikian ini seluruh contoh yang ada dalam kitab dan sunnah sebagai
dalil atas kebenaran qiyas karena di dalamnya ada penganggapan sesuatu sama
dengan yang semisalnya.
Dan di antara dalil dari perkataan sahabat : Apa yang datang dari
Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khoththob dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Asy’ari
dalam hal pemutusan hukum, ia berkata :
ثم الفهم الفهم فيما أدلى عليك، مما ورد عليك مما ليس في قرآن ولا
سنة، ثم قايس الأمور عندك، واعرف الأمثال، ثم اعمد فيما ترى إلى أحبها إلى الله،
وأشبهها بالحق
“Kemudian fahamilah, fahamilah terhadap apa yang diajukan kepadamu,
kepada apa yang datang kepadamu yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah,
kemudian qiyaskanlah perkara-perkara yang terjadi padamu tersebut dan
ketahuilah persamaan-persamaannya, kemudian sandarkanlah pendapatmu itu kepada
apa yang paling dicintai Alloh dan paling menyerupai kebenaran.”
Ibnul Qoyyim berkata : “dan ini adalah surat (dari Umar, pent) yang
mulia yang telah diterima oleh para ‘ulama”.
Dan Al-Muzani meriwayatkan
bahwa para ahli fiqih sejak zaman sahabat sampai zaman beliau telah bersepakat
bahwa penyamaan dengan yang benar adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil
adalah bathil, dan mereka menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqh dalam seluruh
hukum-hukum.
2.
Syarat-syarat
Qiyas :
Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya :
i.
Tidak
bertentangan dengan dalil yang lebih kuat darinya, maka tidak dianggap qiyas
yang bertentangan dengan nash atau ijma’ atau perkataan shohabat jika kita
mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan qiyas yang bertentangan
dengan apa yang telah disebutkan dinamakan sebagai anggapan yang rusak (فاسد الاعتبار).
Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan
bisa mengurus diri sendiri, pent) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa
wali, diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali.
Ini adalah qiyas yang rusak karena menyelisihi nash, yaitu sabda
Nabi shollallohu alaihi wa sallam :
لا نكاح إلا بولي
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
ii.
Hukum
ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma’. Jika hukum ashl-nya itu tetap
dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi diqiyaskan
dengan ashl yang pertama, karena kembali kepada ashl tersebut adalah lebih
utama dan juga karena mengqiyaskan cabang kepada cabang lainnya yang dijadikan
ashl kadang-kadang tidak shohih. Dan karena mengqiyaskan kepada cabang,
kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl; menjadi panjang tanpa ada faidah.
Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan
beras, dan berlaku pada beras diqiyaskan dengan gandum, qiyas yang seperti ini
tidak benar, akan tetapi dikatakan berlaku riba pada jagung diqiyaskan dengan
gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.
iii.
Pada
hukum ashl terdapat ‘illah (sebab) yang diketahui, agar memungkinkan untuk
dijama’ antara ashl dan cabang padanya. Jika hukum ashl-nya adalah perkara yang
murni ta’abbudi (peribadatan yang tidak diketahui ‘illah-nya, pent), maka tidak
sah mengqiyaskan kepadanya.
Contohnya : dikatakan daging burung unta dapat membatalkan wudhu
diqiyaskan dengan daging unta karena kesamaan burung unta dengan unta, maka
dikatakan qiyas seperti ini adalah tidak benar karena hukum ashl-nya tidak
memiliki ‘illah yang diketahui, akan tetapi perkara ini adalah murni ta’abbudi
berdasarkan pendapat yang masyhur (yakni dalam madzhab al-Imam Ahmad
rohimahulloh, pent).
iv.
‘Illah-nya
mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan ‘illah tersebut
diketahui dengan kaidah-kaidah syar’i, seperti ‘illah memabukkan pada khomer.
Jika maknanya merupakan sifat yang paten (tetap) yang tidak ada
kesesuaian/hubungan dengan hukumnya, maka tidak sah menentukan ‘illah
dengannya, seperti hitam dan putih.
Contohnya : Hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu anhuma : bahwa Bariroh
diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata :
suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam.[1]
Perkataan beliau “hitam” merupakan sifat yang tetap yang tidak ada
hubungannya dengan hukum, oleh karena itu berlaku hukum memilih bagi seorang
budak wanita jika ia dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang budak
walaupun suaminya itu berkulit putih, dan hukum tersebut tidak berlaku jika ia
dimerdekakan dalam keadaan memiliki suami seorang yang merdeka walaupun
suaminya itu berkulit hitam.
v.
‘Illah
tersebut ada pada cabang sebagaimana ‘illah tersebut juga ada dalam ashl,
seperti menyakiti orang tua dengan memukul diqiyaskan dengan mengatakan
“uf”/”ah”. Jika ‘illah (pada ashl, pent) tidak terdapat pada cabangnya maka
qiyas tersebut tidak sah.
Contohnya : dikatakan ‘illah
dalam pengharoman riba pada gandum adalah karena ia ditakar, kemudian dikatakan
berlaku riba pada apel dengan diqiyaskan pada gandum, maka qiyas seperti ini
tidak benar, karena ‘illah (pada ashl-nya, pent) tidak terdapat pada cabangnya,
yakni apel tidak ditakar.
kitab al-Ushul min 'Ilmil Ushul, asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin
Rohimahulloh
B.
Pembagian
Qias
a.
Qiyas
jali adalah : yang tetap ‘illahnya dengan nash atau ijma’ atau dipastikan
dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.
Contoh yang ‘illah-nya tetap
dengan nash : Mengqiyaskan larangan istijmar (bersuci dengan batu atau yang
semisalnya, pent) dengan darah najis yang beku dengan larangan istijmar dengan
kotoran hewan, maka ‘illah dari hukum ashl-nya tetap dengan nash ketika Ibnu
Mas’ud rodhiyallohu anhu datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan
dua batu dan sebuah kotoran hewan agar beliau beristinja’ dengannya, kemudian
beliau mengambil dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut dan
mengatakan : “Ini kotor (هذا ركس)”, dan (الركس) adalah najis (النجس).
Contoh yang ‘illah-nya tetap
dengan ijma’ : Nabi shollallohu alaihi wa sallam melarang seorang qodhi (hakim)
memutuskan perkara dalam keadaan marah.[2]
Maka qiyas dilarangnya qodhi
yang menahan kencing dari memutuskan perkara, terhadap larangan qodhi yang
sedang marah dari memutuskan perkara merupakan qiyas jali karena ‘illah
ashl-nya tetap dengan ijma’ yaitu adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.
Contoh yang dipastikan ‘illah-nya dengan menafikan perbedaan antara
ashl dan cabangnya : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak yatim dengan
membeli pakaian, terhadap pengharoman menghabiskannya dengan membeli makanan
karena kepastian tidak adanya perbedaan antara keduanya.
b.
Qiyas
khofi adalah : yang ‘illah-nya tetap dengan istimbath (penggalian hukum) dan
tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dengan cabang.
Contohnya : mengqiyaskan
tumbuh-tumbuhan dengan gandum dalam pengharaman riba dengan ‘illah sama-sama
ditakar, maka penetapan ‘illah dengan takaran tidak tetap dengan nash, tidak
pula dengan ijma’ dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl
dan cabangnya. Bahkan memungkinkan untuk dibedakan antara keduanya, yaitu bahwa
gandum dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan
C.
Qias
sebagai Huku Syara’
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil syara’,
muhammad abu zahrah membagi menjadi 3 kelompok:
Ø Kelompok jumhur ulama yang menjadikan qiyas sebagai dalil hukum
syara’. Mereka menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukunya dalam
nash alqur’an dan sunnah dan ijma’ ulama. Mereka menggunakan qiyas secara tidak
berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.
Ø Kelompok ulama zhahiriyah dan syi’ah dan imamiyah yang menolak
penggunaan qiyas secara mutlak. Zahiriah juga menolak penemuan ‘ilat atas suatu
hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum
syara’
Ø Kelompok yang menggunakan qiyas secara mudah mereka pun berusaha
menggabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan ‘ilatdiantara keduanya:
kadang-kadang memberikan kekuatan yang lebih tinggi terhadap qiyas sehingga
qiyas itu dapat dapat membatasi keumuman sebagian ayat alqur’an dan sunnah.
Dalil yang dikemukakan jumhur ulama dalam menerima qiyas sebagai
dalil hukum syara’:
·
Al-Qur'an
Allah
SWT memberi petunjuk dalam penggunaan qiyas dengan cara menyamakan dua hal
sebagai mana yang terdapat dalam surat yasiin: 36:78-79
78. Dan ia membuat
perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang Telah hancur
luluh?"
79. Katakanlah: "Ia
akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan dia Maha
mengetahui tentang segala makhluk.
Ayat ini menjelaskan bahwa allah menyamakan kemampuannya
menghidupkan tulang belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan
kemampuannya menciptakan tulang belulang pertama kali.
Kelompok zahiriyah menolak argumentasi ini.mereka mengatakan bahwa
allahtidak pernah menyatakan bahwa ia mengembalikan tulang-belulang oleh karena
ia menciptakannya pertama kali.
Allah
menyuruh menggunakan qiyas sebagaimana di pahami dari beberapa ayat alquran
seperti dalam surat alhasyr: 59:2
Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai
orang-orang yang mempunyai wawasan.
Penjelasan ayat itu diantaranya dapat dilihat dalam keterangan yang
diriwayatkan dari tsalab. Ia berkata bahwa al-‘itibar dalam bahasa arab berarti
mengembalikan hukum sesuatu kepada yang sebanding dengannya. Ia dinamai “
ashal”yang kepadanya dikembalikan bandingannya secara ibarat. Dalam hal ini
allah berfirman. Qs. Aliimbran: 13
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi
orang-orang yang mempunyai mata hati.
Kalau seseorang berkata: saya mengi’tibarkan pakaian ini kepada
pakaian yang ini. Maksudnya: dia menyamakan dalam hitungan. Inilah yang
dinamakan dengan qiyas.
·
Dalil
Sunnah
Diantara dalil sunnah yang dikemukakan jumhur ulama sebagai
argumentasi bagi penggunaan qiyas adalah:
Artinya:
"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan
suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar
al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata:
Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam
sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan
akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah
menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai
Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan
ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat
al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang
dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan
menggunakan qiyas.
Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan
yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah
menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar
melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia
meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW
menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu
mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada
Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari
dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah
dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya
telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat
menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW
menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia
dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan
hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika
hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama
harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan
qiyas aulawi.
·
Perbuatan
sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah
Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah
dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW
mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika
Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu
beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala
pemerintahan.
·
Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia.
Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan
ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash
atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya
sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya.
Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai
dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya
diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah
kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.
v Kehujjahan qiyas
a)
Jumhur
ulama ushul fiqih berpendapat bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metode atau
sarana untuk mengistimbatkan hukum syara’ bahkan syar’i menuntut pengamalan
qiyas
b)
Para
ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja
yaitu:
ü ‘ilatnya mansukh 9disebutkan dalam nash), baik secara nyata maupun
melalui isyarat. Minsalnya dalam hadis rasulullah SAW
“
dahulu saya melarang kamu menyimpan daging qurban untuk kepentingan
adh-dhuaffah (para tamu dari perkampungan badhui yang datang kemedinah yang membutuhkan
daging qurban)sekarang simpan lah daging itu. (HR. Bukhari, muslim, nasa,i,
atturmizi, abu daud dan ibnu majah)
ü Hukum far’u harus lebih utama dari hukum ashal minsalnya
mengkiaskan hukum memukul kedua ibu bapak kepada hukum mengatakan “ah” kepada
keduanya karena keduanya sama-sama bersifat menyakiti bagi kedua orang tua.
Dalam hubungan ini menurut mereka pemukulan lebih berat hukumannya daripada
mengatakan “ah”
ü Ulam zahiriyah termasuk as-saukani berpendapat bahwa secara logika,
qiyas memang boleh, tapi tidak ada satu nash pun dalam ayat alquran yang
menyatakan wajib pelaksanaanya. Argumentasi ini menunjukan menolak pendapat
jumhur ulama yang mewajibkan pengamlan qiyas
ü Ulama syiah imamiyah dan annazzam dari mu’tazilah mengatakan bahwa
qiyas tidak bisa dijadikan landasan hukum dan tidak wajib diamalkan, karena
kewajiban mengamalkan qiyas adalah sesuatu yang bersifat mustahil menurut akal
D.
Cara
Menentukan Causa (illat) Hukum
‘Illat secara bahasa (etimologis) kata ‘illat adalah bentuk mashdar
yang berasal dari akar kata عــل- يـعـل- عـلـةatau
اعــتـل
yang berarti sakit atau penyakit. Dalam ilmu hadist, ‘illat dipandang sebagai
sesuatu yang menyebabkan cacatnya suatu hadist. Dalam termenologi ahli hadist
bahwa ‘illat itu merupakan sebab yang tersembunyi dan mengakibatkan cacatnya
hadist, meskipun secara lahiriyah tampak terhindar dari cacat.
Adapun secara terminologis (istilah)
ditemukan sejumlah definisi atau pengertian tentang ‘illat yang redaksionalnya
berbeda antara satu dengan lainnya. Imam al-Ghazali misalnya, dalam kitab
al-Mustashfa menyebut ‘illat hukum itu dengan manath al-hukm (مناط الحكم) yaitu
pautan hukum. Selanjutnya imam al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘illat dalam
pengertian syara‘ adalah: “Pautan hukum atau tambatan hukum dimana Syara‘
menggantungkan hukum dengannya”. Pandangan Al-Ghazâlî ini senada dengan apa
yang dikemukakan oleh kalangan pengikut Imam Malik yang juga mendefinisikan
‘illat hukum sebagai : مــناط الحــكم الـذي اضـاف
الشـارع الــيه بـه”Pautan
hukum dimana Syâri‘ menghubungkan ketetapan hukum dengannya”
Dalam istilah filsafat, ‘llat
berarti causa penyebab, yaitu sesuatu yang dapat merubah yang lain, yang dapat
menempatinya; perubahan itu terjadi dengan sendirinya. Oleh karena itu, ‘illat
diartikan sebagai sesuatu yang menjadikan yang lain bergantung kepadanya atau
yang menyebabkan adanya seauatu yang lain.
Para filosof hukum Islam membagi illat kedalam beberapa bagian :
‘illat Asasiyah yaitu
kausa prinsipal. Kausa prinsipal ialah ‘illat yang dapat menyebabakan adanya
sesuatu yang selainya dengan sendirinya.
‘illat Adah yaitu kausa
instrumental. Kausa instrumental ialah ‘illat yang menyebabakan adanya wujud
sesuatu.
‘illat Mubasyarah yaitu
‘illat yang menyebabkan sesuatu yang lain berada tampa melalui perantaraan.
‘illat ini dapat disebut kausa direksi; kebalikan dari kausa instrumental.
‘illat Ghairu Mubasyarah,
yaitu ‘illat yang menyebabkan keberadaanya sesuatu yang lain disebabkan adanya
perantaranya.
‘illat Tammah atau
Mustaqilah, yaitu ‘illat yang independen yang menyebabkan mahiyyah/quidity
(apanya sesuatu wujud) dan wujud sesuatu tergantung kepadanya.
‘illat Muadah yaitu
sesuatu yang menyebabkan adanya yang disebabkan tampa keharusan ada
penyebabnya.
Cara untuk mengetahi ‘illat hukum ada dua.
1.
Pertama
melalui dalil naqli yang kemudian disebut ‘illat manqulah. ‘Illlat ini dapat
diketahui bedasarkan informasi dari Quran dan sunnah, namun demikian, untuk
mengetahuinya diperlukan ilmu bantu seperti Ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir serta
ilmu hadist.
2.
Kedua
‘illat musthanbitah, yaitu ‘illat yang diketahi melalui ijtihad. Bentuk ‘illat
ini jelas harus diketahui melalui penelitian yang mendalam. Oleh karena itu,
cara mengetahuinya bukan hanya diperlukan pengetahuan logika, tetapi juga
ilmu-ilmu lainya baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial Dapat dinyatakan bahwa
peranan metode ilmiah dalam upaya mengetahui dan menguji keberadaan suatu illat
hukum sangat penting, bahkan menentukan kualitas kebenaran ada dan tidakadanya
suatu ‘illat.
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Secara Etimologi Qiyas
menurut arti bahasa arab ialah penyamaan, membandingkan atau pengukuran,
menyamakan sesuatu dengan yang lain.
Secara Terminologi
Menurut ulama ushul Qiyas berarti menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada
nashnya dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan cara membandingkannya dengan sesuatu
yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
Imam Jalaluddin
Al-mahalli mendefinisikan Qiyas ialah mengembalikan masalah furu’ (cabang) pada
masalah pokok, karena suatu illat yang mempersatukan keduanya (cabang dan
pokok) di dalam hukum.
Qiyas digunakan jika
mendapatkan permasalahan yang tidak ada nash yang menunjukkan solusi permasalahan
tersebut secara langsung
atau tidak langsung
(dilalah isyarah atau thadhammuniyah). Disinilah nampak kelebihan Imam Abu
Hanifah dalam mencari sebab (ilat) hukum. Abu Hanifah berpegang kepada qiyas
dalam berijtihad, apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat dalam
Al-Quran, Hadis dan perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan perkara yang
dihadapi kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara
keduanya. Metode ijtihad ini dalam mazhab Hanafi dinamakan dengan qiyas jali yaitu
kebalikan dari qiyas khafy yang dinamakan dalam mazhab Hanafi sebagai istihsan.
Imam Abu Hanifah hanya
sedikit memiliki koleksi hadits yang shahih. Bukan karena tidak percaya atau
tidak mau menggunakan hadits, justru karena termasuk orang yang paling
bersungguh-sungguh dalam menyeleksi hadits, tak sembarangan hadits bisa ia
terima sebagai dalil. Dan karena sedikitnya hadits yang ia anggap shahih,
secara alami Imam Hanafi pun menemukan metode pengembangan dari nash yang sudah
ada (Al-Quran dan Hadits) untuk bisa diterapkan di berbagai persoalan
kehidupan, yaitu dengan mengambil ‘illat, atau persamaan aspek antara masalah
yang ada nashnya dengan masalah yang tidak ada nashnya. Metode ini kemudian
dikenal dengan nama qiyas
dDAFTAR PUTAKA
[1] Dr. Nasrun haroen,
ushul fiqih 1, (Jakarta: logos), h. 62
[2] Drs. Totok jumantoro,
MA, kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), h 272
[3] Amir sarifudin, ushul
fiqih 1
[4] Drs. Totok jumantoro,
MA, Kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), 276-277
[5] Teungku muhammad
hasbi ash-shiddieqy,Pengantar Hukum Islam, (Bandung, PT. Pustaka rizki putra),
h.203213
[6] Drs. Totok jumantoro,
MA, Kamus ushul fiqih, (Jakarta, amzah), h.122-126
Diposkan oleh Zainal
Masri di 02.35
Kirimkan Ini lewat
EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Abdul Azis Dahlan [at al]
Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997
Al-Hâfidz Muhammad ‘Aly
bin Muhammad as-Syaukâni, Sya’ban Muhammad Ismail, Dr. ed et, Irsyâdu al-Fuhul
ila Tahqiqi min ‘Ilmi al-Ushul, Dâr al-Salâm, Iskandariah, Kairo, juz. II. 2006
Prof. Dr. Abdul Karim
Zaidan, al-Wajîz fiy Usuli al-Fiqh, Muassisatu al-Risalah, Beirut, 1996
H.A.Djazuli, Ilmu Fiqih,
Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta,Kencana,2005
__________, Ushul Fiqh,
Gilang Aditya Presa, Cetakan II, 1996.
Dr. Shaleh Zaidân,
Hujjiyatul Qiyâs, Dâr al-Shahwah, Hilwan, Kairo, cet. I. 1987
Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah
Abdul Wahab Khalaf; Ilmu
Ushul al Fiqh, al-dar al-Kawaetiyah, Mesir, cetakan ke-8 1968.
A.Hanafi, Pengantar dan
Sejarah Hukum Islam, Bulan Bitang, Jakarta, Cetakan I, 1970.
Dr. Wahbah Zuhaili, Usul
al-Fiqh al-Islâmi, Dâr al-Fikr, Damsyiq, juz. II. 2005
Diposkan oleh INSYAFLI
PTA PADANG di 19.14
Tidak ada komentar:
Komentar
Posting Komentar